Sebenarnya kamu lagi ngejar apasih?

75 5 1
                                    

Kisah ini adalah tentang Hanif, seorang siswa kelas IX yang tinggal di asrama. Ia terkenal sebagai anak yang asik dan mudah bergaul, tak mengherankan apabila Hanif memiliki banyak teman, entah itu teman seangkatan atau adik kelas, pastinya tau siapa Hanif. Tahun ketiga dimasa putih biru ini Hanif mengalami banyak tantangan. Awalnya, Hanif adalah tipe anak yang santai dalam urusan nilai akademik, mau dapet nilai bagus atau tidak Hanif sih tim bodoamat. Namun, akhir akhir ini Hanif seringkali merasa bahwa ia harus intropeksi diri, banyak hal yang harus ia benahi sebelum ia masuk ke masa putih abu, salah satunya adalah "membenahi" persoalan akademiknya.

"Eh Nif, nilai sains lu berapa? Dibawah KKM lagi kah?" Tanya Ajul, teman dekat Hanif
"Duh iya nih, gue dapet 70. Padahal nih ya, gue tu udah belajar semalem" jawab Hanif
"Waduh Nip, itu sih lu nya aja yang emang lemot hahaha" celetuk Ajul

Seringkali Hanif mendapat nilai jelek, ia juga santai apabila diejek karena nilainya jelek. Tapi kali ini, Hanif benar benar kepikiran perkataan Ajul tadi

"Aduh apa iya gue nya yang lemot?" tanya Hanif berulang ulang dalam hati

Hanif belajar hampir setiap malam, namun nilainya hanya meningkat 10-15 poin saja. Sebuah kemajuan, tetapi Hanif belum merasa cukup. Ia belajar 6-8 jam ketika akan menghadapi ujian tengah semester. Dan hasilnya? Hanif belum mendapat skor nilai yang ia tergetkan.

Suatu hari pada saat penilaian tengah semester

"Assalamu'alaikum, ada Hanif Syafiq? Orang tua nya menelpon, katanya ada hal darurat "

Tiba tiba saja, saat asyik-asyiknya mengerjakan soal ujian geografi Hanif diberitahu bahwa orang tua nya menelpon. Hanif bergegas menuju ruang komunikasi untuk menjawab telpon orang tua nya.

Beberapa saat setelah menjawab telepon ibunya, dada Hanif terasa sesak. Mulut, tangan, kaki dan hatinya bergetar. Mata Hanif berkaca kaca. Ternyata yg ia terima adalah kabar duka bahwa sang ayah telah wafat tadi pagi saat sholat subuh. Perasaan nya kacau, Hanif mau tidak mau harus tetap ikut ujian. Hanif akhirnya mengikuti ujian dengan perasaan yang berkecamuk.

Malam hari setelah kabar duka, Hanif duduk sendiri di taman tengah asrama. Disaat penghuni asrama lain sibuk belajar untuk ujian, Hanif menikmati heningnya malam itu sambil mengingat kapan terakhir kali ia memeluk ayahnya.

" Dor! Hayo Hanif melamun ya? " tiba tiba ustadz wawan, anak kiayi pemilik sekolah datang

" Eh allahuakbar, ya Allah ustadz wawan bikin kaget aja deh " Hanif terkejut dan hampir mengeluarkan jurusnya

"Aduh Hanif, ustadz paham kok rasanya. Kalau kamu mau, besok kamu bisa izin pulang kerumah. Nanti semua izin ana yang urus, ana juga bakal antar Hanif sampai pintu gerbang rumah Hanif "

Tanpa dijelaskan, ternyata ustadz wawan paham apa yang Hanif rasakan.

" Tidak usah ustadz, Hanif tetap disini saja. tadi kata ibu Hanif tidak perlu pulang karena bapak juga sudah dimakamkan " ujar Hanif yang sebenarnya sedang sesak karena menaham tangis

Ustadz Wawan tersenyum pada Hanif, ia ikut prihatin dengan muridnya itu. Meskipun selama ini Hanif anak yang selalu riang, namun ia tetap bisa bersedih rupanya.

"Nif gimana nilai nilai kamu? Ustadz kemarin dengar kata guru guru kamu ada peningkatan ya?" Pak Wawan sengaja mengalihkan topik agar tema malam itu tidak sendu

"Iya ustadz hehe, Hanif sekarang mulai peduli sama tanggung jawab Hanif " Hanif balas dengan nada antusias (tuhkan, baru aja mode sedih, udah mode gembira lagi nih si Hanif)

" Widih, gitu dong! Baru namanya pelajar sejati. Tapi Nif, jangan lupa selain ngejar nilai, kamu juga harus mengejar cintanya Allah " ustadz Wawan menimpali

"Cinta nya Allah? Hehe, jujur aja Hanif masih suka bingung sama maksud cinta yang satu ini " Hanif membuat senyuman di pipinya

" Gini Nif, ketika Allah mencintai seorang hambanya, Allah akan menjadi pendengarannya, Allah akan menjadi pengelihatannya, jika meminta ampunan, allah akan ampuni, dan jika meminta perlindungan maka Allah akan lindungi. Ketika Allah sudah mencintai seorang hambanya, maka Allah akan mengabulkan apa saja yang hambanya minta " ustadz Wawan menjelaskan pada Hanif

"Oh begitu ya ustadz? Berarti Hanif udah harus gencar jalur langit ya dari sekarang? Biar nanti dapet nilai yang bagus pas lulus " Hanif nyengir lumayan lebar

"Nif, ustadz tau kau banyak pikiran kan? Buat ibu dan almarhum bapak mu bangga Nif, be the best version of your self" ustadz Wawan menimpali senyuman lebar Hanif dengan kata kata yang sebenarnya diluar pembicaraan itu.

Hanif mulai tersentuh. Ia sadar bahwa ia masih punya ibu yang harus melihatnya kelak menjadi orang sukses. Meskipun ayah sudah meninggal, Hanif juga harus membuatnya tersenyum disana. Hanif mulai menetapkan tujuannya. Selain mengejar nilai, Hanif rupanya tidak boleh lupa mengejar cintanya Allah

" Siap deh pak ustadz. Mulai saat ini Hanif janji bakal ngejar 2 hal itu secara bersamaan " Hanif sebenarnya ragu apakah dia benar benar bisa mengejar 2 hal itu bersamaan. Namun, rasa ragunya ditutupi oleh rasa ingin menjadi anak yang berbakti untuk orang tua nya.

Mulai saat itu Hanif rutin melakukan shalat tahajud. Hanif belajar siang-malam dan setelah tahajud ia selalu curhat dengan Allah tentang masalah apa yang ia punya. Tidak jarang ia menitikan air mata saat berdoa untuk kedua orang tuanya.

Hari berlalu menguntai bulan. Hanif sudah selesai mengikuti ujian akhir kelulusan. Sepertinya janjinya dulu, Hanif akan mengejar nilai sambil mengejar cinta-Nya Allah.

Hingga saat wisuda

" Siswa dengan nilai ujian akhir terbaik diberikan kepada.." pembawa acara sengaja memotong ucapannya agar audiens merasa dag dig dug.

" HANIF SYAFIQ! " seru pembawa acara

Hanif sedang mengunyah risoles yang ia dapatkan dari jatah konsumsi tadi. Ia terkejut bukan main mendengar pengumuman itu, bagaimanakah ia bisa mendapatkan nilai terbaik padahal teman teman yang lain selalu lebih pintar darinya. Sebelum naik keatas panggung, Hanif mencium tangan ibunya terlebih dahulu. Ia mengucapkan terimakasih pada sang ibu yang selalu mendoakannya dimanapun ia berada

Hanif sangat bersyuku, karena apa yang telah ia usahakan selama ini tercapai. Ia tersadar bahwa Allah sesuai dengan prasangka hambanya dan Allah lah sebaik baiknya pemberi kabar gembira.

2: Kita dan Putih BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang