Bag. II: Where The Lies Lie
Song: Almost Is Never Enough by Ariana Grande, Nathan SykesFrom: gwafawibisana@gmail.com
To: althakarenina@gmail.com
Subject: (no subject)OK, meet me in two days at 2 pm.
–
Singkat, padat, dan tidak jelas. Balasan email tersebut sudah satu minggu terngiang-ngiang di kepala. Semakin saya ingat lagi, bukannya bosan, saya justru semakin kesal. Mengingat pesan singkat yang membuat hidup Altha jungkir balik tersebut menyisakan rasa sesak yang melekat di sudut hati saya. Ada sedikit penyesalan, mengenai kenapa bukan saya yang bertemu Altha lebih dulu.
Mengingat bagaimana ekspresi Altha ketika bertemu saya setelah dia tidak lagi bersama Gandhi membuat saya ingin merutuki diri. Istri saya pernah seterluka itu untuk dapat percaya sanggahan saya atas tuduhannya. Istri saya pernah sehancur itu untuk akhirnya dapat menerima hubungan baru yang saya tawarkan.
Kepercayaan dirinya habis dimakan ego yang dimiliki mantannya itu. Berulang kali sampai saya berada di titik bosan, Altha menanyakan keseriusan saya terhadap perasaan saya. Dia tidak salah dan saya tidak pernah sekalipun menyalahkannya akan ketidakmampuannya mempercayai saya yang notabene orang yang ditawari mantannya atas dirinya itu.
Altha berhak untuk tidak percaya. Dan tugas saya adalah menumbuhkan kepercayaan itu supaya dia tidak lagi dihantui kekhawatiran. Lalu ketika istri saya itu sudah memberikan seluruh rasa percayanya pada saya, kini saya yang justru krisis akan hal itu.
Saya tahu ini salah. Tidak seharusnya saya ini mengabaikan semua usahanya untuk kembali percaya pada diri sendiri dan juga orang lain. Namun, perasaan saya ini juga bukan tanpa dasar yang jelas ataupun kekhawatiran yang sekadar dilandasi kecemburuan, sungguh bukan.
Menyaksikan Altha yang lagi-lagi tanpa sadar membuatkan saya cokelat hangat sementara saya alergi cokelat, dada saya tanpa bisa saya tahan terasa sangat sesak. Dalam dua bulan pertama pernikahan, Altha tidak pernah satu kalipun membuat cokelat hangat, baik untuk dirinya sendiri. Baru memasuki bulan ketiga, minuman kesukaan mantannya itu selalu ada hampir setiap hari di atas counter table.
Konyol, saya tahu. Namun, ketika satu bulan ini, hampir setiap hari sepulangnya saya dari kantor, Altha mulai membuatkan secangkir cokelat hangat untuk saya, hati saya terbakar perasaan tak kasat mata.
"Mas Reksa, maaf, ya." Ucapan Altha hanya mendengung pelan di telinga. Saya semakin menyandarkan wajah di sisi kepalanya yang terkubur di leher saya ketika Altha kembali berbicara, "Mas nggak papa marah dulu, tapi marahnya jangan lama-lama. Janji deh habis ini kardus cokelatnya langsung Altha buang. Ya, Mas?"
Saya masih terdiam ketika Altha mengangkat wajahnya dan langsung mengecup bibir saya cepat. Merasai lembut bibirnya, saya masih menatapnya lurus, menunggu apa yang bisa dia lakukan sampai kecupannya berkali-kali jatuh membuat saya tidak bisa tahan untuk tidak melumat habis bibir itu.
"Mas nggak beneran marah, Nduk." Ucapan setengah bohong itu keluar. Saya takut Altha akan berpikiran terlalu jauh tentang hal yang bisa saya selesaikan sendiri ini. Perasaan ini adalah urusan saya, Altha akan sedih kalau tahu rasa percaya saya terkikis sedikit demi sedikit. Saya mengecup bibirnya lagi seraya tersenyum kecil. "Tadi biar dicium aja sama Altha."
"Tapi Altha jadinya jahat banget sama Mas."
Hati saya sontak mencelos. Tiba-tiba seperti ada suara Bunda berbisik di telinga, 'Lihat, Mas, sekarang saja Altha sudah sebegitu merasa bersalahnya. Ingat janji Mas pada Papanya Altha. Ingat juga Ayah di sana, jangan buat Ayah kecewa, Le.'
KAMU SEDANG MEMBACA
Where Cupid Kissed Her
RomanceCupid once misfires and shoot the wrong person, made a woman hurt and crying for love. So to make amends, that little naughty boy gave the woman a single kiss. But who will expect that the Cupid's kiss is actually a man, a better man. * this is a lo...