Nala Rucitra adalah seorang mahasiswi jurusan ekonomi yang kini aktif juga dalam kegiatan klub buku di daerah tempat ia tinggal.
Nala terkenal dengan kesehariannya yang terjadwal. Ia juga ramah dan murah senyum. Jangan lupa juga kalau Nala termasuk satu di antara mahasiswa dengan paras cantik. Siapa saja bisa terpikat dengannya sejak pandangan pertama.
Hari ini ia pergi ke kampus untuk mengurus beberapa berkas. Dilihat jam yang kini melekat di pergelangan tangannya, ternyata masih pukul delapan pagi. Berhubung ia belum sempat sarapan, jadilah Nala melangkahkan kaki menuju kantin.
Bubur ayam jadi menu sarapan kesukaan Nala. Kios bubur ayam kala itu cukup ramai, sehingga Nala harus terlebih dahulu mengantre. Tak butuh waktu lama, giliran Nala pun sampai.
"Pagi, Kang Widi. Aku pesan bubur ayamnya satu porsi, nggak pakai kacang, nggak pakai sambal, sama tambah sate ususnya satu. Makan sini, ya."
"Eleuh eleuh. Pagi juga, eneng geulis. Oke siap, pesanan diterima. Duduk dulu aja atuh, nanti akang bawakan ke meja eneng, "
Nala mengambil duduk di dekat air mancur. Ia terdiam. Seraya menghitung banyak ikan di kalam kolam, tiba-tiba ia teringat akan hal sukses menghantui pikirannya.
Belakangan ini Nala dekat dengan seseorang. Masih satu angkatan. Mereka pertama kali bertemu di toko buku, saat itu Nala tengah mencari novel terbaru untuk menjadi bacaan di rumah.
Ting tong ...
Menempuh waktu sekitar dua puluh menit dari rumah, akhirnya Nala sampai juga di tempat yang bagaikan surga. Apalagi kalau bukan toko buku.
Nala menyusuri tiap rak dengan perlahan, mencari novel yang kemarin ia lihat di internet. Walaupun melelahkan karena terus menerus berkeliling, tetapi hati Nala bahagianya bukan main.
"Ah, itu dia! Ternyata kamu di atas, " ucap Nala lega setelah akhirnya menemukan novel yang sedari tadi ia cari.
Namun, satu yang menjadi masalah. Novel itu terlalu tinggi untuk Nala yang mungil. Sudah berkali-kali ia meraihnya, tetapi tetap tidak bisa.
"Yang mana yang mau diambil?" tanya laki-laki dari arah kanan Nala.
Sontak Nala menjawab, "Yang sampulnya warna merah muda, bunga sakura."
Dengan mudahnya, orang yang entah siapa itu meraih novel yang Nala maksud. Setelah menjulurkan novel ke Nala, orang itu langsung melangkah pergi begitu saja.
Kembali ke sekarang ...
Nala terkejut, bubur ayamnya sudah sampai di depan mata. Mungkin karena melamun, ia jadi tak sadar.
Baru saja menyuapkan beberapa sendok ke dalam mulutnya, Nala kembali dikejutkan dengan keberadaan sosok yang belum lama ia pikirkan.
"Selamat pagi, Nala. Sendirian aja nih, aku temenin boleh nggak? Ada yang marah nggak?" seloroh orang itu sambil tertawa.
"Apa sih, Yan. Genit."
Namanya Dayyan Anggara, sering dipanggil Dayyan. Ini dia orang yang tadi ada di lamunan Nala. Ia dan Dayyan sudah kenal setahun. Entah memang sudah takdirnya mereka bertemu atau bagaimana, yang pasti mereka merasa bahwa mereka nyaman bersama.
"Kok kamu nggak kasih kabar kalau mau ke sini?" tanya Nala.
Dayyan yang fokus memperhatikan Nala pun menjawab, "Iya, 'kan kejutan. Hidup perlu ada kejutan biar nggak datar-datar banget, darling."
Mendengar jawaban Dayyan, Nala hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Ia tak sadar kalau kini sudah hampir pukul sepuluh.
"Eh, udah mau jam sepuluh. Aku harus ke kelas. Maaf ya, Yan. Nanti aku kabarin."
Tak lama, Nala pun pergi meninggalkan Dayyan yang kini sendirian. Dayyan termenung dengan segala pemikiran yang mampu mengganggu hatinya.
Malam tiba ...
"La, kamu malam ini ada acara nggak? Kita ke kafe yang ada cheesecake-nya itu mau?"
Itu Dayyan. Tiba-tiba saja ia menelepon Nala. Namun, ada yang aneh. Suara Dayyan terdengar murung. Berhubung ia juga butuh angin segar dan jeda sejenak dari laporan yang ia kerjakan, jadi Nala pun mengiyakan ajakan tersebut.
"Oke, nanti aku jemput ya."
Malam itu terasa lebih senyap dari biasanya. Entah karena memang mendung atau bagaimana. Seolah pertanda akan ada angin kencang, akan ada sesuatu yang datang.
Ting tong ...
"Selamat datang. Mau pesan apa, kak?"
"Cheesecake-nya dua sama lemon tea juga dua, ya."
Nala dan Dayyan memilih untuk duduk di lantai atas yang dindingnya berlapiskan kaca karena ingin melihat pemandangan kota dan menikmati waktu.
Tak lama, pesanan mereka datang. Nala terlihat begitu bersemangat untuk makan cheesecake. Sampai-sampai matanya bersinar.
Baru saja ingin menyendok secuil kue itu, tiba-tiba Dayyan memecah keheningan.
"Nala, aku mau ngomong sesuatu boleh?"
Nala membeku. Tak biasanya Dayyan misterius seperti ini. Tak biasanya Dayyan meminta izin untuk mengatakan sesuatu. Ada apa sebenarnya?
"Mau ngomong apa, Yan?" tanya Nala hati-hati.
"Aku pantas nggak sih buat jadi milik kamu? Aku merasa aku terlalu berharap untuk jadi seseorang yang ingin tinggal di hati kamu. Aku takut keberadaan aku malah mengganggu kamu."
Bagai ada bom yang baru saja diledakkan di depan Nala. Ia kembali membeku, mati kutu, dan tak tahu harus bagaimana menghadapi situasi seperti ini. Situasi yang selalu ingin Nala hindari.
Pada dasarnya, kita tidak bisa terus menerus lari dari masalah karena lari bukan solusi, tetapi menunda yang seharusnya bisa selesai dan bahkan malah menambah masalah lain.
"Maaf. Maaf karena selama ini udah bikin kamu bingung, Yan ... "
Nala menunduk sambil melanjutkan kalimatnya, "Aku sebenarnya nggak tau. Aku takut untuk buka hati lagi. Aku nggak mau tersakiti, sampai akhirnya aku menganggap hal-hal kayak gini jadi angin lalu. Sekali lagi maaf."
Dayyan masih menatap lekat Nala yang kini lambat laun air matanya menetes dan bahunya naik turun. Bulan seolah menyorot mereka.
Nala berusaha untuk terus menjelaskan apa yang dia rasakan, "Aku sayang sama kamu, Yan. Kamu pantas. Kamu itu lebih dari cukup untuk aku si manusia yang penuh kekurangan. Jadi, jangan lagi kamu tanya apa kamu pantas buat aku."
"Tapi, La—"
"Dayyan, dengar aku. Kamu pantas. Aku berani kembali menerima orang untuk datang ke hidup aku ya karena kamu. Kamu sama sekali nggak mengganggu aku. Bahkan, aku bersyukur kamu bisa ada di sisi aku dan ada buat aku."
"Kalau gitu, boleh kah kalau aku terus di sisi kamu? Tolong, izinkan aku buat tinggal di hati kamu, La, " ucap Dayyan memelas.
Nala tak kuasa untuk menjawab. Akhirnya hanya bisa mengangguk. Dayyan mendekat dan merengkuh Nala.
Sebenarnya Nala sudah tahu kalau tidak mungkin ia tidak menerima Dayyan. Sebab sedari awal dia sudah jatuh sepenuhnya. Akan tetapi, sebelumnya Nala masih hilang arah.
Kini, Nala mengerti bahwa menjalani hidup adalah dengan memaafkan masa lalu dan menutupnya. Masa depan perlu dijemput dengan harapan baru.
Malam itu akhirnya tidak ada lagi yang mengawang. Semua sudah jelas. Dan jawaban juga sudah didapat. Bintang menutup hari dengan sinar-sinarnya yang memikat seraya menilik para insan di dunia—mengharapkan kebahagiaan bisa memeluk mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE WIND THAT RUNS ABOVE THE DREAMS
Short StoryIni kumpulan dari beberapa kisah yang menjadi bagian dari kembalinya seorang Athi dalam dunia menulis. Semoga siapa saja yang membaca, dapat terhibur dan bisa rehat sejenak dari riuhnya hiruk pikuk hari.