Pagi itu Lyra terbangun dari tidurnya. Semua terlihat seperti biasa. Ia bisa melihat bagaimana sinar mentari menilik kamar yang sudah kurang lebih delapan belas tahun ia huni. Udara segar menyambut ketika ia membuka lebar jendela kamar. Kicauan burung dan pohon di halaman rumahnya seolah menyapa dengan gembira.
"Semoga hari ini menyenangkan!"
Setelah mandi dan bersiap diri, Lyra dengan langkah ringan menuju ruang makan untuk sarapan. Ada ibu, ayah, dan adik kecilnya di sana. Ibu begitu telaten menata lauk pauk di meja, ayah sibuk meletakkan piring, sedangkan si adik heboh sendiri dengan mobil-mobilan yang dimilikinya. Pemandangan yang membuat hati Lyra teduh.
Hingga sampailah pada saat dia bertanya kepada ibunya, "Bu, nanti aku mau pergi keluar sebentar boleh?"
Sedetik, dua detik, hening ... tiada tanggapan. Bahkan ibu menoleh saja tidak. Lyra bingung. Akhirnya ia mencoba bertanya kepada ayahnya, "Ayah, aku boleh 'kan nanti pergi keluar sebentar?"
Lyra kira dia bakal mendapat jawaban, nyatanya hanya angin dan denting piring dan sendok bergesekan saja yang terdengar. Ia mencoba memanggil pelan adiknya dan tidak ada bedanya. Lyra makin bingung, kenapa mereka semua tidak mendengarnya? Ada apa? Apa ada yang salah? Atau sekarang ini hanya mimpi belaka? Segala macam kemungkinan menghampiri benak Lyra.
Seminggu sebelum itu ...
Lyra Kirany mampir ke restoran piza dekat dengan sekolahnya. Setelah mendapat nilai paling tinggi di mata pelajaran kimia, ia berniat untuk memberikan perhargaan kepada diri sendiri dengan membeli pizza keju kesukaannya, tak lupa dengan minuman bersoda sebagai pelengkap.
"Mas, piza kejunya satu sama soda ya. Dibawa pulang."
Seusai memesan, Lyra pun menunggu kira-kira dua puluh menitan. Saat pesanannya datang, ia langsung bergegas pulang dengan mengayuh sepeda sekuat tenaga. Lyra begitu bersemangat untuk sampai ke rumah dan menikmati pizza.
Jalanan cukup ramai. Dari kejauhan ada yang menarik perhatian Lyra. Anak kecil yang terkesima dengan balon di genggaman tangannya. Balon itu berwarna kuning terang, menjadikan seolah-olah matahari ada dua.
"Lucunya anak kecil itu. Aku jadi teringat adik di rumah. Kira-kira dia sedang apa ya?"
Posisi Lyra saat itu adalah tengah menunggu lampu lalu lintas berganri warna. Namun, ketika lampu berubah menjadi hijau, ia tidak sadar. Sebenarnya pengendara lain sudah menglakson Lyra sampai bisingnya memekakkan telinga.
Entah apa yang sebenarnya ada di pikiran Lyra. Tiba-tiba ia kayuh pedal sepedanya dengan cepat. Akan tetapi, nahas dari arah kiri ada truk besar dan ...
BRUKKKK!!!!
Lyra tertabrak. Sontak keramaian mengelilinginya. Lyra langsung tak sadarkan diri sebab tabrakan yang terjadi cukup keras, darah mengalir dari dahinya dan ia pun terkapar lemah.
"Siapa saja telepon ambulans cepat!"
"Malangnya gadis ini. Padahal masih muda."
"Memang kalau keluar rumah lebih baik bersama orang tua, jangan sendirian kalau tidak mau jadi seperti dia."
"Orang tuanya pasti sedih bukan main."
Tak lama, ambulans pun datang dan Lyra di bawa ke rumah sakit terdekat. Paramedis melakukan pertolongan pertama dengan sigap dan cekatan.
Pandangan Lyra gelap total. Napasnya jadi tak beraturan. Padahal sekitar begitu bising, tetapi hanya dengung tak henti yang terdengar.
"Aku kenapa? Sebenarnya apa yang terjadi?" pikir Lyra dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE WIND THAT RUNS ABOVE THE DREAMS
Cerita PendekIni kumpulan dari beberapa kisah yang menjadi bagian dari kembalinya seorang Athi dalam dunia menulis. Semoga siapa saja yang membaca, dapat terhibur dan bisa rehat sejenak dari riuhnya hiruk pikuk hari.