"Anjir!"
"Panas banget, cok!"
"Si botak lama banget kasih amanat!"
Di hari Senin sudah dihadapkan dengan upacara rutin setiap paginya. Terik matahari seakan membakar kepala, keringat pun bercucuran dari dahi. Mereka pun harus dipaksa berdiri, kecuali para berandal yang berdiri di bagian paling belakang barisan kelas 12. Mereka tak takut jika akan menjadi buronan guru BK.
"Maka dari itu, pihak sekolah-"
"JANGAN LAMA-LAMA AMANATNYA, PAK! KITA INI KEPANASAN!"
Teriakan dari suara laki-laki itu memotong amanat dari Pak Bayu selaku kepala sekolah SMA Persada. Semua mata tertuju padanya dengan ngeri. Hanya siswa itu saja yang berani pada sosok paling berpengaruh di sekolah ini.
Siswa yang sedari tadi jongkok itu berdiri. Dari jauh tatapan tajamnya diterima oleh Pak Bayu.
"Selesaikan amanatnya, Pak!"
"Reval Anggara!" desis Pak Bayu lirih tetapi terdengar jelas karena ada pengeras suara di depan mulutnya.
"Apa? Bapak mau menegur Reval?!" tantang cowok dengan penampilan seperti preman itu yang jauh dari kata rapi. "Bapak itu Papa saya! Mana bisa menegur anaknya sendiri!"
Reval Anggara merupakan putra Pak Bayu, fakta itu baru terungkap dua hari kemarin. Murid di sekolah ini pun terkejut, biasanya anak kepala sekolah akan merasa bangga dengan jabatan ayahnya, bukan malah menutupi fakta seperti Reval.
Pak Bayu segera menutup amanatnya daripada putranya yang urat malunya sudah putus itu maju ke depan dan protes di hadapan guru dan murid lain.
Sebelum barisan murid dibubarkan oleh pemimpin upacara, sesuatu yang tak terduga terjadi.
"Arghhhh!"
Seorang siswi dari kelas 12 berteriak. Tubuhnya ambruk dan menggelepar bagai ikan di lantai lapangan. Beberapa kali siswi itu mencakar dan menarik rambutnya sendiri.
"Ada yang kesurupan!"
"Pasti setelah upacara ada yang ketempelan jurig!"
"Ada yang kesurupan, Pak, Bu!"
Murid lain yang hendak membubarkan diri urung dan memilih untuk menonton apa yang terjadi. Sedangkan para guru saling bantu untuk menyembuhkan siswi itu. Terutama guru Agama—Pak Hadi—yang maju duluan.
"Nak!" Pak Hadi mencoba menyadarkan siswi berambut pirang bernama Allendra Savira itu.
Bukannya sembuh, Allendra semakin brutal. Ia menyerang Pak Hadi sampai mencakar kulitnya hingga terluka. Siswi itu sesekali menyeringai, lalu tertawa keras.
Di saat keadaan sedang kacau, siswi lain membelah kerumunan murid yang menonton. Dia adalah Deana Catarina.
"Minggir, Pak."
Dengan santai Deana jongkok di samping Pak Hadi yang masih berusaha menyembuhkan anak muridnya itu.
"Deana? Biar Bapak saja yang menyembuhkan Allendra, dia memang langganan kesurupan."
"Setannya lebih kuat, Pak."
"Apa?"
Tanpa menjawab Pak Hadi, Deana harus segera mengeluarkan sosok mengerikan dari tubuh Allendra. Hanya Deana yang bisa melihat sosok dengan kepulan asap hitam yang berwujud perempuan tua berambut panjang yang sudah memutih dengan pakaian seperti orang jaman dahulu. Sedangkan Pak Hadi hanya melihat Allendra kerasukan biasa seperti hari-hari sebelumnya.
"Aaaa!
Kini giliran Deana yang berteriak. Bersamaan dengan cengkraman tangannya di kepala Allendra semakin kuat, Deana dapat merasakan energinya menipis karena kalah dengan sosok kuat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Indigo tapi Konyol
Historical FictionMenjadi seorang indigo tak membuat Deana Catarina keberatan. Justru ia sangat senang mendapat kelebihan yang menurut orang menakutkan. Deana bisa dapat cuan setelah menjadi pengusir hantu di rumah orang. Diana pun bisa mendapat hantu yang layak dij...