Lina menangis menangis dan terus menangis. Aku sudah muak! Aku tidak mau mendengarnya menangis lagi. Jadi tanpa sadar tanganku yang keras telah mendarat di pipi lembutnya, menciptakan suara tepukkan yang kuat.
"MENJIJIKKAN!"
°。°。°。°。°。°。
Malam itu aku terus mendengar tangisannya. Kupingku panas terbakar dikarenakan suara ponselku yang terus berbunyi. Ini sudah jam ke 2 kami berbicara. Hmm bukan berbicara, lebih kepada aku yang mendengarnya menangis. Sebetulnya kepalaku pusing, terlebih pekerjaanku sedang menumpuk. Seharusnya aku tidak punya waktu untuk menjadi kosultan masalah percintaan sahabatku ini. Walaupun aku menyukainya, kadang aku juga membencinya.
"Terus sekarang kamu mau gimana?" Ujarku yang membuat tangisannya malah semakin keras. Aku tidak habis pikir, memang isi otak manusia yang putus cinta itu cuma air mata ya? Kan mereka bisa menghibur diri dengan cara lain, tidur misalnya. Karena cuma itu yang kubutuhkan saat ini!
Lawan bicaraku kembali berkata sambil tersendu, "Aku... Aku... gak.. tau..."
Lihat kan. Kalau tidak tahu kenapa harus menelpon dan mengganggu orang lain? Padahal aku pikir aku bisa menyelesaikan pekerjaanku dengan cepat dan langsung tidur.
"Tidur saja lah." Balasku. Dan aku langsung tau bahwa dia menggeleng dengan cepat sembari tangisannya terdengar semakin kuat.
Saat itu juga aku mematikan telepon itu. Aku sudah muak. Muak sekali. Kalau jatuh cinta membuat orang menjadi tolol, maka putus cinta membuat orang menjadi sinting. Aku harap semua orang bahagia saja, jadi tidak akan ada yang mengganggu jam sibukku. Persetan dengan dunia, aku hanya butuh tidur.
Satu jam kemudian, aku baru bisa memejamkan mata, tepat di jam 2 pagi. FUCKNG 2 AM! Aku menutup laptop dan bergegas tidur.
°。°。°。°。°。°。
Mungkin itu adalah hal yang akan kusesali seumur hidup, karena keesokkan paginya, aku mendapati sahabatku itu terbaring di Unit Gawat Darurat rumah sakit karena percobaan bunuh diri. GILA! SINTING! DUNIA SUDAH SINTING! Sebentar lagi aku yang akan sinting!
Aku yang akan menuju kantor pagi itu untuk melakukan presentasi malah harus memutar menuju rumah sakit. Aku sudah tidak peduli kalau-kalau aku dipecat karena ini presentasi penting yang menyangkut perusahaan dan aku tidak meminta izin pada bos hari ini. Tanganku gemetar sambil membawa sepeda motor dengan kecepatan tinggi. Aku merasa kalau ini adalah salahku yang mematikan telponnya tadi malam. Andai aku menahan sedikit saja rasa egoisku untuk mendengarkan tangisannya tadi malam, dia mungkin tidak akan mencoba mengakhiri dirinya. Aku mencoba untuk fokus pada jalanan yang sedang kulalui, namun selalu gagal. Kalau aku yang mati hari ini aku pasti akan menghantui sahabatku yang tolol itu!
Sampai di parkiran rumah sakit, aku berlari linglung dikarenakan sepatu hak tinggi sialan yang menyangkut di kakiku itu dan aku bahkan masih mengenakan helm. Dasar anak brengsek! Bisa-bisanya dia mencoba menabrakkan dirinya ke mobil yang tidak ada kontribusinya dalam hubunga percintaan dia. Aku memaksa kakiku untuk bergerak dengan benar, mengarahkannya ke UGD.
"Li — Lina, dimana?" tanyaku dengan mulut gemetar pada perawat yang bertugas.
Si perawat kebingungan menatap kepalaku, "He—helm..."
"LINA DIMANA?" Teriaku tak sabar. Perawat itu dengan sabar meminta penjelasan mengenai siapa yang ingin kutemui, kemudian barulah ia mengantarkanku menuju tempat dimana orang tolol itu terbaring.Ia terlihat.....hidup. Tapi bibirnya pucat. Perban mengililingi lengan dan kakinya terlihat darah merembes disana. Tangisanku pun tak bisa kubendung lagi. Perawat itu meninggalkan aku bersama Lina.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Stab in The Back
Short StoryIni adalah cerita tentang pengkhianatan... ︵‿︵‿︵‿︵ WARNING ✋🏻⚠️ Harsh Words Suicide Attempt Suicidal Thought ︵‿︵‿︵‿︵ Cover photo by Fa Barboza on Unsplash