"Ayah sama Bunda cuma pergi sebentar, Aya—"
Mereka bohong.
Kedua mata Aya terbuka dan langsung melihat langit-langit kamar. Gadis itu perlahan mengubah posisi menjadi duduk.
Dia mengembuskan napas pelan. "Gue benci."
Aya beralih bangkit dari kasur dan membereskan bantal beserta guling yang dipakai tidur. Setelah kasurnya rapi, gadis itu langsung mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi.
"Non Aya. Sarapannya sudah siap—"
"Iya, Bi! Bentar lagi Aya turun," ucap Aya setelah keluar dari kamar mandi dengan rambut masih setengah kering.
Gadis itu bergegas memakai seragam sekolahnya, lalu mengeringkan rambutnya dengan hair dryer. Tangan lainnya sibuk mengacak-acak rambutnya agar bisa segera kering.
Aya kemudian memakai kaus kaki dengan cepat, lalu memasukkan buku-buku pelajarannya. Setelah sudah siap, dia menggendong tasnya dan berjalan ke luar.
Saat sedang menuruni tangga, langkah Aya tiba-tiba melambat. Gadis itu melihat pigura besar berisi foto keluarganya. Aya bersama kedua orang tuanya.
"Aya kangen banget sama Ayah dan Bunda ...."
Gadis itu hanya bisa mengembuskan napas—lagi dan lagi. Dia menghampiri asisten rumah tangga yang tadi dipanggil 'Bi'. Namanya Arin, Aya biasa memanggilnya 'Bi Arin'.
"Sarapan hari ini, Bibi masakin telur dadar spesial sama ayam goreng kesukaan Non Aya," kata Bi Arin. Dia tersenyum kepada anak majikannya.
Aya membalas senyuman itu. "Makasih banyak, Bi," ucapnya, "a-ah, iya, Bi. Hari ini aku mau bawa bekal. Bisa tolong disiapin?"
Bi Arin langsung mengangguk, kemudian pergi ke dapur untuk mengambil kotak bekal dan botol air untuk memasukkan bekal milik Aya.
Aya hanya bisa menikmati sarapannya tanpa bisa melakukan hal lain—tidak seperti sebelum-sebelumnya. Gadis itu bisa berbicara dengan kedua orang tuanya yang juga ikut sarapan.
Dia menghentikan gerakan tangannya, sehingga sendoknya masih tertahan di atas piring. Aya menggigit bagian bawah bibir karena merasa ingin menangis.
Aku harus terbiasa ... tapi rasa rindu ini benar-benar membuatku sesak, kata Aya dalam hati.
Tanpa disadari Aya, langkah kaki Bi Arin terhenti di ambang pintu dapur. Perempuan itu merasa tidak enak saat melihat Aya yang terus berusaha terlihat kuat padahal dia tahu kalau anak majikannya sedang merasa hancur.
"Semoga kehadiran Bibi di sini bisa ... setidaknya membantu Non Aya untuk bangkit kembali," ucapnya.
^^^
Aya langsung membuka pintu setelah mobil yang dia naiki sudah berhenti di sebelah gerbang utama SMA Harapan.
"Euhm ... Mas Iwan. Nanti nggak usah jemput aku, ya," kata Aya, membuat laki-laki yang duduk di kursi pengemudi tampak mengerutkan kening.
"Kenapa, Non? Mau ada kerja kelompok? Nanti kalau udah mau pulang, kabari aja, Non," jawab Mas Iwan.
Aya langsung menggeleng. "B-bukan gitu ... aku ada urusan dan mau pulang sendiri aja, hehehe," jawab Aya diikuti senyum.
Mas Iwan pada akhirnya menyerah. "Ya udah kalau Non Aya maunya gitu," kata Mas Iwan.
"T-tapi kalau Non Aya berubah pikiran dan mau dijemput—pokoknya kabari Mas Iwan. Pasti Mas Iwan bakalan langsung jemput," lanjutnya, menghentikan Aya yang sebelumnya baru saja ingin bicara.

KAMU SEDANG MEMBACA
STARLIGHT
Teen Fiction^^^ Aya dikenal sebagai gadis yang periang. Senyumnya bisa membuat orang-orang yang melihatnya ikut tersenyum. Namun, setelah mengalami sebuah insiden, senyum di wajah Aya bukanlah pertanda rasa senang. Aya berusaha keras melanjutkan hidupnya dalam...