-1-

340 28 2
                                    

Yechan menutup kedua telinganya erat, muak mendengarkan pertengkaran orangtuanya.

Demi tuhan! Yechan sudah 27 tahun dan dia masih harus mendengarkan orang tuanya berdebat setiap malam?

Yechan tau. Ia sungguh sudah tau ini sejak lama.

Topeng Orang Tuanya.

Setiap hari orang tuanya akan bersikap
layaknya sepasang suami istri bahagia. Tapi ketika malam? mereka akan kembali berdebat, membicarakan perpisahan yang tak kunjung mereka lakukan.

"Ayo bertahan demi anak kita" Gitu katanya.

"Sebentar lagi, tunggu anak kita dewasa. Tunggu sampai ia siap." Bertahun-tahun lalu Yechan pernah mendengarkan Mamanya mengatakan ini.

Tunggu sebentar. Bukankah sekarang Yechan sudah dewasa?

Bukankah sekarang waktunya?

Sebenarnya, anak mana yang cukup dewasa untuk menghadapi perpisahan orang tuanya?

Tapi, bukankah ini lebih baik? Yechan juga sudah muak. Muak memasang topeng setiap hari, dan yang pasti orang tuanya juga sama muaknya dengan dirinya,kan?

Berdiri, Yechan memantapkan hatinya menuju kamar orang tuanya.

Perlahan didorongnya pintu tersebut, terlihat Mamanya sedang menangis disisi kasur, dengan Papa yang terduduk acuh memainkan ponselnya dimeja kerjanya.

"Berpisahlah.." lirih Yechan.

Kedua orang tuanya tersentak, kaget dengan kehadiran Yechan yang tiba-tiba.

Mengelap air matanya asal, Mamanya melangkahkan kakinya menuju Yechan.

"Apa maksudmu, Yechanie?"

"Aku bilang berpisahlah. Bercerailah." Tangan Yechan mengepal, bahkan siku-siku jarinya terlihat memutih karena kepalannya yang terlalu kuat.

"Aku muak, Ma, Pa." ucap Yechan dengan suara yang sedikit bergetar.

Mamanya tidak lagi mengatakan apa-apa, hanya kembali menangis. Hanya saja tangisan kali ini lebih lepas dari biasanya, tangisannya kali ini terasa lebih menyakitkan.

Yechan memeluk Mamanya. Berniat menenangkan. Tapi apalah daya hati tidak bisa berbohong, Yechan malah ikut menangis bersama Mamanya.

Papanya yang sedari tadi memperhatikan juga ikut memeluknya, membelai surai hitam milik anak kesayangannya.

Yechan lah yang menjadi alasan orangtuanya sampai saat ini masih bertahan. Demi Yechan.

Namun, jika Yechan sendiri yang menyuruh orang tuanya untuk berpisah, mereka bisa apa? satu-satunya alasan telah lenyap, maka sekarang satu-satunya pilihan adalah berpisah dan mencari kebahagiaan masing-masing bukan?

***

Tepat 3 bulan setelahnya, kedua orang tua Yechan telah resmi bercerai. Awalnya Yechan disuruh memilih mau ikut bersama siapa. Tapi, Yechan tidak mau, Yechan tidak ingin berat ke salah satu. Akhirnya Yechan memilih untuk tinggal sendiri dan akan mengunjungi masing-masing dari kedua orang tuanya kalau ada waktu.

Jujur, Yechan tidak ingin tinggal dirumah ini. Dirumah ini terlalu banyak kenangan palsu yang justru semakin menyakiti Yechan setiap kali mengingatnya.

Memutar otak Yechan tiba-tiba teringat sesuatu, sekilas Yechan bisa mengingat kalau dia dan keluarganya pernah tinggal ditempat lain.

"Ma, aku mau tinggal dirumah lama kita, boleh kan?" ucap Yechan menerka-nerka, tidak tau apakah ingatannya benar atau tidak.

"Hah?" Mamanya jelas terkejut, mereka sama sekali tidak pernah membicarakan tentang rumah ini. Bagaimana Yechan bisa tau?

"Aku gak mau tinggal disini, Ma."

Menghela nafasnya kasar, sang Mama membelai surai hitam anaknya. Dari matanya dapat terlihat jelas kalau terpancar kesedihan disitu.

"Kamu tau dari mana tentang rumah lama kita?"

"Aku hanya mengingatnya."

"Apa lagi yang kamu ingat?"

Yechan bingung, tidak mengerti maksud dari perkataan Mamanya. Emangnya Yechan harus mengingat apalagi? itu hanya rumah kan?

Mengerti anaknya tidak mengingat hal lain, membuat Mamanya menghela nafas lega.

"Baiklah kalau mau kamu begitu, nanti Mama antarin kesana."

Yechan tersenyum bahagia, tak lupa dengan kecupan yang ia berikan di pipi Mamanya, membuat raut wajah Mamanya juga berubah bahagia.

Tidak apa, mungkin ini sudah saatnya Yechanie menghadapi semuanya. Aku yakin dia sudah cukup kuat untuk ini. Ucap Mamanya berbisik didalam hati.

Swear Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang