Bab 1. Pintu Pertama

15 2 0
                                    

[Aku ingin mati!]

Satu kalimat yang berhasil aku kirimkan kepada Rudi melalui aplikasi chatting. Aku merasa tidak memiliki pilihan hidup yang sesuai. Jika ada orang yang mengatakan bahwa diriku sudah gila, mungkin saja itu benar.

"Ah, tolong balas!" gerutuku melihat ponsel dengan casing berwarna merah muda itu tidak kunjung memberikan pemberitahuan apa pun.

Aku masih menunggu balasan dari Rudi sejak sepuluh menit yang lalu ditemani bantal berbentuk bola di pangkuanku. Pada saat jam dinding di ruangan berukuran dua meter persegi itu menunjukkan pukul setengah sepuluh malam, tiba-tiba terdengar suara air hujan berjatuhan di atas genting dengan keras disertai kilatan petir.

Tidak lama dari terdengar suara geledek, aku menerima pesan singkat dari Rudi. Dia memintaku untuk pergi dari rumah dengan alasan merantau ke Jakarta dan bekerja sebagai guru privat anak sekolah dasar.

Rudi menanggapi pesan dariku terlihat sangat santai. Mungkin, bagi pria itu sudah terlalu biasa dengan segala keluh kesahku. Ya, Rudi sudah mengetahui semua tentang kehidupanku. Dia satu-satunya orang yang aku percaya sebagai tempat bercerita.

"Shela, aku harap kamu terima tawaran pekerjaan itu. Percaya sama aku, masalah kamu bisa selesai dengan cara keluar rumah," ujar Rudi saat sambungan telepon berjalan selama kurang lebih enam detik.

Aku terdiam sejenak, mataku ke arah langit-langit plafon ruangan pribadi. Hanya butuh lima detik, aku kembali fokus memikirkan tawaran tersebut.

"Aku harus mengajar mata pelajaran apa, Di?" tanyaku dengan penuh keraguan.

"Kamu cukup mengajar matematika sesuai dengan keahlianmu, Shel. Aku menawarkan pekerjaan ini karena kamu punya skill di pelajaran itu."

Tawaran dari Rudi sangat menarik bagiku. Namun, banyak hal yang muncul di kepalaku secara tiba-tiba.

"Rudi, aku ... Bagaimana kalau Ibuku nggak memberikan izin? Ah, sudah pasti aku nggak akan mendapatkannya." Aku menyingkirkan ponsel dari telinga kanan.

"Soal izin orang tuamu bisa kita bicarakan nanti. Sekarang, kamu putuskan saja dulu. Kamu mau menerimanya atau nggak. Shela, tolong bertahan! Kamu pasti bisa melewati semua masalah. Percayalah satu masalah akan ada seribu solusi," kata Rudi dengan suara yang begitu bersemangat memotivasiku.

Mendengarkan perkataan Rudi membuatku lebih tenang. Mungkin benar, keluar dari rumah salah satu solusi yang terbaik. Aku dengan gegabah memutuskan untuk melakukan hal itu. Namun, langkah apa yang harus aku tempuh?

"Kabur!" teriakku, setelah sambungan telepon terputus karena jaringan WiFi di rumahku mendadak tidak berfungsi. Aku meletakkan ponsel di sisi kasur sebelah kanan. "Iya, aku harus kabur. Aku nggak bisa hidup seperti ini terus, harus bisa meng-eksplor dunia luar!"

Aku turun dari tempat tidur, lalu melangkah ke arah almari. Aku mengambil tas ransel bekas waktu sekolah untuk mengemas beberapa pasang pakaian.

Baru selesai memasukkan dua potong baju, aku mendengar suara yang tidak asing dari luar kamar sambil menggedor-gedor pintu.

"Shela! Kamu lupa masak nasi lagi?!" teriaknya dengan intonasi tinggi.

Aku bergegas menutup tas ransel. Sementara waktu, aku harus menyimpan kembali benda itu di tempat semula supaya tidak ketahuan oleh Ibu.

"Shela!" panggilnya dengan penuh penekanan.

Tidak butuh waktu lama, Ibu masuk tanpa permisi. Dia berdiri mematung di depan pintu dan mengamatiku yang masih sibuk berjongkok membetulkan posisi tas agar tidak kelihatan olehnya.

"Sedang apa kamu?" tanya Ibu penuh curiga dengan gerak-gerik aneh dari tubuhku. "Ingat, ya, jangan macam-macam! Sekarang, ke dapur dan masak nasi."

"Bu, aku juga capek! Bisa, kan, sesekali lakukan pekerjaan rumah tangga sendiri. Bukannya itu tugas Ibu?" kataku dengan rasa takut karena melihat tangan kanan ibu sudah mengepal sempurna.

"Capek? Kamu cuma main hp, apa yang buat kamu capek? Jangan banyak alasan!" sahut Ibu dengan tatapan garang.

'Capek sama keluarga yang berantakan!' batinku penuh emosi dengan sikap Ibu yang tidak pernah mengerti kondisiku.

"Shela!" panggilnya dengan penuh penekanan.

Tiba-tiba aku mendengar suara lantang dari luar kamar. "Arini! Kamu di mana?!" 

 "Arini! Kamu di mana?!" 

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
SHELA THE EXPLORERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang