Bab 2. Rumah Riuh

7 1 0
                                    

Aku beranjak dari kamar. Tentu saja, setelah Ibu dan Ayah meninggalkan depan kamarku. Langkahku begitu malas menuju ruangan yang berukuran dua kali dua meter dan diisi banyak perabotan masak. Setelah itu, aku mencuci beras sebanyak satu setengah kilogram selama satu menit.

"Hm, selalu begini," ucapku sambil memasukkan wadah nasi ke rice cooker, lalu menyalakannya.

Aku menatap ke arah alat penanak nasi itu dengan perasaan kacau. Telingaku fokus mendengarkan suara-suara keras dari ruang tamu. Ibu dan Ayah kembali beradu mulut begitu hebat.

Tanpa basa-basi, aku memantapkan diri untuk menemui mereka. Aku melangkah dengan cepat. Setelah tiba, aku berdiri tegak melirik Ibu dan Ayah bergantian.

"Diam kalian! Aku muak sama pertengkaran ini," teriakku dengan suara keras diiringi tangis yang tidak bisa ditahan lagi. "Kenapa, sih, selalu mempermasalahkan hal kecil? Apa lagi yang harus aku lakukan agar kalian bisa akur? Aku sudah membuang masa depanku demi menuruti perintah kalian, tapi balasannya apa?" sambungku masih terisak.

"Memang apa yang sudah kamu lakukan? Kamu di rumah cuma rebahan, makan, main hp. Kapan kamu menbanggakan orang tua? Menghasilkan uang aja kamu nggak bisa!" ucap Ayah dengan tegas sembari melangkah meninggalkan ruangan dengan nuansa putih-cokelat menuju kamar.

Mendengar ucapan Ayah membuat pikiranku mendadak kosong, mulut hanya bisa menganga sekian detik. Otak seakan tidak mampu merangkai kata.

"Arini!" teriak Ayah dari dalam kamar. "Siapkan makan malamku!" lanjutnya lantang.

Ibu menghela napas panjang, matanya menatapku dengan lekat. "Kamu dengar, kan, ayahmu mengatakan apa? Siapkan makan malamnya. Makanya jangan lupa masak nasi."

"Bu, kenapa semua tugas Ibu dilimpahkan ke aku? Aku juga butuh istirahat," kataku mencoba meminta keringanan.

Aku sudah merasa lelah dengan pekerjaan rumah. Dari pagi aku menyapu, mencuci piring, mencuci baju, mengepel, dan melakukan pekerjaan rumah lainnya seorang diri. Tubuhku sudah meminta istirahat, tapi aku takut akan terjadi pertengkaran lagi.

"Jangan lemah jadi perempuan! Kerjakan apa yang diminta." Ibu melangkah mendekati sofa. Kemudian, dia duduk santai di sana. Bahkan, tangannya sibuk menggeser layar ponsel yang lebih canggih daripada milikku.

Selang lima belas menit kemudian, aku sudah selesai menyiapkan makanan di atas meja. Kedua orang tuaku pun mulai menempati kursi masing-masing yang ada di ruang makan.

"Mas, minta uang buat beli tas. Kamu lihat, kan, tasku sudah pudar warnanya?" kata Ibu sembari menyendok nasi.

Ayah menghentikan aktivitasnya. Dia meletakkan sendok dan garpu di atas piringnya. "Arini, kamu minta tas? Cari uang sendiri! Anak dan Ibu sama saja. Kalian bisanya merepotkan."

"Loh, itu tugas kamu menafkahi anak dan istri," sahut ibu ikut menghentikan aktivitas makan malam, matanya menatap tajam ke arah Ayah.

"Kamu sendiri tahu, kan, warung sepi!" teriak Ayah sudah muak dengan topik perdebatan sejak pulang kerja.

Ayah beranjak dari tempat duduk, lalu meninggalkan makanan miliknya. Dia sudah kehilangan nafsu makan karena perdebatan yang tidak ada ujungnya.

"Warung sepi itu karma dari perbuatanmu sendiri!" kesal Ibu menunduk, tidak berani menatap punggung Ayah yang mulai menghilang di balik pintu kamarnya.

Selama menyaksikan drama rumah tangga itu, aku hanya terdiam dan tetap melanjutkan makan. Bukan tidak peduli, aku sudah terbiasa akan hal itu sejak kecil.

Konon katanya, mereka menikah karena dijodohkan. Entahlah, aku tidak mengerti dengan perasaan mereka. Sampai sekarang, mereka tidak terlihat menunjukkan rasa cinta.

"Bu, aku mau kerja," ucapku sembari mengusap sisa minyak di ujung bibir kanan.

"Kerja? Kamu bisa apa, Shela? Nggak! Kamu cukup di rumah."

"Bu, aku juga mau seperti temanku yang lain! Mereka bisa membanggakan orang tuanya dan bisa mengenal dunia luar. Sedangkan, aku terbelenggu di dalam rumah!" Aku memejamkan mata beberapa detik, mengontrol emosi.

"Dengarkan Ibu ... Di luar sana, kamu nggak akan menjadi apa-apa. Kamu aja nggak punya gelar. Mau mencari pekerjaan seperti apa? Paling jadi pembantu. Sama saja, kan, dengan bekerja di rumah?" balas Ibu merendahkanku.

"Kenapa Ibu menghancurkan rasa percaya diriku?!" tanyaku dengan tegas dan penuh penekanan. "Bu, kenapa aku nggak bisa hidup dengan kebebasan?" 

 "Bu, kenapa aku nggak bisa hidup dengan kebebasan?" 

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 21, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SHELA THE EXPLORERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang