"Kakak nggak akan suka rasanya!"
Di bawah rindangnya pohon kersen yang berbuah lebat, seorang wanita bercadar sibuk mengulur galah guna memanen buah kersen yang sudah hampir berwarna merah kesemuanya.
Seorang gadis bertubuh kurus kecil berkalung box kayu, bersama seorang remaja lelaki berdiri menatapnya sengit. Seolah mereka sedang menangkap basah pencuri yang sedang memanen buah hasil dari kebun mereka.
Pal semen di satu sudut pinggir perempatan besar, di sini dia berpijak.
Kepala yang sedari tadi mendongak mendadak kembali menegak. Gegas kedua netra mencari keberadaan si penegur. Dua bocah diperkirakan kakak beradik berdiri di sisi kanan, menatapnya dengan tegas.
Aktivitas yang asik dilakukan sedari tadi mendadak terhenti dan terabaikan. Diturunkannya sebilah galah di tangan, dan ia turun dari pal semen yang digunakannya sebagai pijakan.
Dilihatnya saksama, bocah yang di leher keduanya sama-sama dikalungi box kayu. Ia jadi teringat sesuatu. Pemandangan di hadapannya sungguh terasa seperti dejavu.
Meski tempat yang sedang ia pijaki telah banyak berubah dari sepuluh tahun lalu, ia masih bisa mengingat segalanya. Tak ada satupun yang terhapus dari memori.
"Bagaimana kalian bisa tahu aku tidak akan suka dengan rasa dari buah ini?"
Pertanyaan cukup menantang dilempar pada dua bocah yang sedang menunggu responnya setelah melompat dari atas pal semen yang cukup tinggi tanpa takut kaki akan kesleo.
"Orang kaya nggak akan makan buah yang tumbuh di pinggir jalan. Dan perlu Kakak tahu, pohon itu milik kami!"
Anak laki-laki berusia belasan menunjuk pohon kersen rindang yang buahnya bahkan sudah banyak berjatuhan di atas pafing.
"Kukira pohon ini milik Allah," ujar si wanita membela diri, menyadari dirinya tengah dituduh sebagai pencuri.
Ia sudah terlanjur memetik banyak buah kersen yang matang. Dan jelas ia tak sabar untuk memakan buah dengan aroma manis nan wangi itu. Mala sangat menyukainya sedari dulu, bahkan hingga kini pun masih menyukainya.
Dahulu, saat tempat ini menjadi saksi pedih kehidupannya, saat lapar tiba dan ia tidak punya uang untuk membeli nasi, pohon kersen inilah satu-satunya tujuannya.
Kini, si pohon sudah semakin besar, sama seperti Mala yang sudah beranjak dewasa. Rantingnya yang lurus menjulur ke setiap arah membentuk payung besar, seolah si pohon ingin melindungi manusia-manusia di sekitarnya dari terik matahari.
"Iya, memang. Pohon ini milik Allah. Tapi Allah menyediakannya untuk kami yang tidak punya uang untuk membeli makanan. Jika dilihat dari penampilanmu, aku kira Kakak lebih dari mampu untuk sekadar membeli makan, bukan?"
Mala lalu memindai penampilannya, dari sepatu, tas, hingga pakaian yang ia kenakan melalui pantulan badan mobil yang mengkilap. Kebetulan ada mobil yang sedang terparkir di bahu jalan.
"Penampilan 'kan nggak menjamin kemampuan seseorang. Jangan sok tahu! Dan jangan menilai orang sembarangan hanya dari penampilannya saja!" protes Mala.
"Memangnya kami nggak lihat?! Kakak memarkir mobil di sana, 'kan?"
Anak lelaki itu enggan dibodohi. Rupanya Mala justru telah tertangkap basah dua kali.
"Itu mobil rentalan. Bukan mobilku!" kilah Mala menguji kesabaran si anak lelaki.
"Memangnya rental mobil nggak pake duit?"
"Ya pake sih. Ya sudah, aku minta maaf sudah sembarangan memetik buah di sini. Habisnya aku kangen tempat ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
NAWAITU CINTA
General Fiction"Ke mana saja?" "Tidak ke mana. Aku hanya sibuk mencari jawaban," ujar si gadis tanpa berani memalingkan wajahnya, hanya gerak kaki yang diayun tiba-tiba terhenti. "Sudah terjawab semuanya?" Pemuda itu masih bertanya, seolah ingin memastikan sesuatu...