Untuk pertama kali Raga benar-benar menatap manik mata coklat pekat itu dalam jarak yang begitu dekat. Mata yang dulu gelap penuh akan kesedihan, kini berubah bersinar.
Binarnya menari-nari seiring dengan senyum yang tersirat lewat lengkung sabit yang kembali dijumpai Raga dalam gaya berpakaian yang sudah jauh berbeda dari beberapa tahun yang lalu.
'Itukah kamu?' desir Raga di dalam hati.
Shabina Hamala nama gadis yang kini berdiri hanya dalam jarak satu meter dengan sosok laki-laki berwajah tampan bernama Ragandaru.
Hari ini mereka kembali bertemu, setelah takdir memisahkan mereka sepuluh tahun lamanya.
Bukan kesalahan prinsip. Apalagi kesalahan anak remaja yang kala itu masih berpikiran sempit. Takdirlah yang menentukan. Kapan mereka harus bertemu, berpisah, kemudian dipertemukan kembali seperti ini.
"Maaf, saya membuat Anda semua menunggu lama," ucap Mala.
"Kami belum lama sampai, Nak," balas Andara dengan lembut menatap Mala.
Mala mengangguk. Kemudian ia meminta ketiga tamunya untuk masuk lebih dalam guna melihat koleksi gaun-gaun miliknya.
Gaun-gaun pengantin bernuansa putih dengan berbagai design modern berjajar rapi di dalam rak. Ada juga yang dipajang di antara manekin-manekin di sudut-sudut ruangan.
Namun pandangan mereka justru tertarik pada sebuah manekin yang berdiri tepat di sebelah kursi kantor di dalam ruang kerja Mala.
Sekat kaca bening besar menjadi pembeda ruang antara ruang fitting dengan ruang kerja masih bisa ditembus pandangan tamu. Sehingga tampaklah design yang belum selesai itu.
"Itu koleksi pribadi. Tidak saya jual atau sewakan kepada siapapun."
"Gaun impian Anda, ya?" tebak Bila. Dan Mala pun mengiyakan lewat anggukan.
"Cantik ya, Mas?" ujar Bila meminta pendapat tentang gaun yang jauh dari pandangan mata mereka.
"Hmm," jawab Raga sekenanya.
"Beneran nggak dijual, ya?" tanya Bila memastikan.
Gurat keinginan kuat terbaca oleh Mala.
"Ya. Saya membuat gaun itu untuk saya pakai sendiri nantinya. Dan lagipula gaunnya belum saya selesaikan. Akan saya selesaikan nanti."
"Kapan?"
Tiba-tiba saja Raga menjadi antusias.
"Kepo banget sih, Mas!" tegur Bila terdengar tidak suka Raga peduli dengan orang lain.
"Jika waktunya sudah tiba. Silakan lihat-lihat terlebih dahulu. Ratna akan menemani Anda sekalian. Saya mohon izin sebentar."
Mala kemudian pergi meninggalkan ruangan itu.
Sudah sangat sesak rasanya hati terus dihimpit perasaan yang muncul dari masa lalu. Bagaimana perasaan itu tidak muncul? Seseorang yang namanya pernah gugur dari bait-bait doa, kini justru berada di dekatnya.
Mala berlari secepatnya begitu ia berhasil keluar dari ruang fitting. Halaman yang asri menjadi tempat tujuannya.
Mala sengaja memilih tempat ini untuk dijadikannya sebagai butik. Sebuah rumah bergaya Jawa dengan halaman asri nan luas mengelilinginya. Tempat itu sangat tenang jika hanya ada Mala dan Ratna saja.
Namun ketenangannya tidak sirna walau banyak tamu yang datang mengunjungi butiknya. Beberapa bangku dan meja kayu di tata rapi di sana. Di bawah pohon-pohon mangga yang rindang.
Mala memilih duduk di salah satu sudut di dekat toilet. Tempat itu paling jarang didekati pengunjung.
Satu tetes air mata kembali jatuh. Mala terus menyebut Rabb-nya. Ia merasa salah, sangat salah. Namun kemudian ia kembali dikejutkan oleh seseorang.
KAMU SEDANG MEMBACA
NAWAITU CINTA
General Fiction"Ke mana saja?" "Tidak ke mana. Aku hanya sibuk mencari jawaban," ujar si gadis tanpa berani memalingkan wajahnya, hanya gerak kaki yang diayun tiba-tiba terhenti. "Sudah terjawab semuanya?" Pemuda itu masih bertanya, seolah ingin memastikan sesuatu...