Pengaruh

221 21 13
                                    

Mingi terbangun di sisi ranjang lain, mengerjap kesal ketika sinar Matahari menusuk tepat di matanya.

Matahari yang menyinari wajahnya lebih panas dari biasanya. Biasanya ia terbangun dengan sinar mentari pertama sebelum pagi mulai panas.

Kedua kakinya meraba lantai sesaat setelah didudukkannya tubuh lemas yang masih mengantuk itu. Ia mengusap kasar wajahnya, mengusak kedua mata yang belum membuka sepenuhnya. Embus napas kasar dikeluarkannya saat kesadaran penuh membawanya berdiri dan berjalan ke kamar mandi.

Hari biasa. Semua rutinitas pagi Mingi dilakukannya lagi, meski ia telat beberapa belas menit dari waktu bangun biasanya. Tidak apa-apa, pikirnya. Hari ini bukan hari memancing atau berburunya setelah kemarin malam Yunho mengajaknya berbelanja ke pasar.

“Hei, Mingi! Tidak berburu hari ini?”

“Ah, tidak. Aku sedang tidak ingin makan daging.”

Sudah sangat terang ketika Mingi keluar rumah dengan tas kulit yang memuat beberapa keping dan lembar uangnya. Para warga sudah beradu sapa, menyebar obrolan ringan pagi seperti biasanya, juga anak-anak yang sudah berlarian di sekeliling gerobak milik orang tua mereka atau bahkan orang yang tidak dikenalnya.

“Baguslah, dengan begitu kau bisa membeli tomatku di pasar nanti, akan kuberikan harga tetangga. Kau juga bisa membelinya di rumahku kalau mau.” Tetangga Mingi pemilik kebun tomat di samping rumahnya menyapa dari atas gerobaknya, setengah berteriak dengan suara tipisnya. Ia melambaikan tangan sambil tersenyum, lalu melanjutkan lagi perjalanannya.

Meninggalkan rumah dengan pagar terikat sulur, Mingi menyeberang jalanan kecil kembali ke perbukitan rendah melewati beberapa anak yang berlarian mencari serangga. Sesekali ia menyapa, melambai tangan lalu berlalu pergi.

Tujuannya kali ini memang bukan berburu maupun memancing yang dikejar waktu. Namun berbelanja dengan Yunho juga bukan sesuatu yang ingin ia tunda hanya karena hatinya meminta ia untuk berdiri sejenak memandangi ufuk timur dan refleksi di atas sebuah kolam.

Pagar rumah Yunho masih terkunci saat Mingi datang. Agak aneh, pikirnya. Biasanya Yunho langsung membuka pagarnya sesaat setelah ia bangun ketika menghirup udara subuh di luar.

“Yunho.”

Mingi mengetuk pintu. Sekali, dua kali, tetap tidak ada jawaban. Meski umum bagi siapa pun tidak membuka pintu segera, tapi Yunho tidak demikian. Setidaknya, tidak pada Mingi. Bahkan tanpa dipanggil, Yunho selalu langsung membuka pintu jika itu Mingi yang mengetuk. Hingga ketukan ketiganya, daun pintu mengayun terbuka.

“Pagi,” sapa Mingi setelah Yunho hadir dengan kantung matanya. “Tidur larut?”

Yunho hanya mengangguk. “Ayo, aku benar-benar kelaparan.”

Jalanan sudah mulai sepi dari para warga yang akan berangkat ke pasar, berburu, menggembala, atau sekadar anak-anak yang mengekori orang tua mereka. Hanya satu-dua orang yang masih betah menyiram kebun sendiri, berdiri menatap halaman dengan tangan di pinggang saat sekali lagi, tikus tanah merusak kebun mereka.

“Tetanggaku menawarkan harga rendah untuk tomat yang dijualnya, kita bisa membeli darinya. Dan sayuran yang lainnya ... kurasa kau lebih tahu. Aku tidak terlalu sering membeli sayuran. Tapi mungkin kalau kau ingin membeli beberapa buah-buahan, aku tahu orang yang menjual buah segar dengan harga rendah.” Mingi menarik napas sedikit sebelum melanjutkan racauannya, mengisi kekosongan perbincangan di anatara keduanya.

“Kebanyakan dari mereka punya kebun sendiri, tinggal di dekat perbatasan sungai, agak jauh dari sini. Namun sering kali aku bertemu dengan mereka saat memancing. Cukup ramah, apalagi kalau kau berniat membeli dagangannya dalam jumlah besar. Kudengar ada orang yang mulai menanam padi. Langka sekali mendengarnya di sini, harganya pasti timpang dengan tumbuhan lain mengingat jarangnya orang—”

The Ring 🐉 YunGi [⏹]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang