Tegar, begitulah orang-orang memanggilku. Awalnya, aku merasa kurang nyaman dengan nama itu. Namun, seiring waktu berjalan aku perlahan menyadari arti nama "Tegar". Tegar kecil tidaklah seperti anak-anak lainnya. Perkembangan intelektualnya begitu tertinggal. Cemooh dan hinaan seraya menjadi makanan yang sehari-hari ia terima. Sewaktu masih berada di jenjang sekolah dasar, aku kurang menguasai bidang ilmu matematika. Matematika dirasa menjadi momok yang mematikan bagi sebagian besar orang, termasuk diriku pada waktu itu. Kekuranganku tersebut menjadi bahan-bahan hinaan dari orang lain, seperti rekan, guru, bahkan tetangga sekitar rumahku. Aku sering memojokkan diri, meratapi kehidupanku yang tak kunjung diberikan cahaya terang. Aku sendirian, gelap, dingin, tak ada siapapun yang mau menghampiriku, bahkan menemaniku. Namun, arah kehidupan menjadi berubah. Suatu pagi yang cerah, tepat dimana hari pengumuman kelulusan tiba. Kami semua dikumpulkan dalam satu lapangan. Masing-masing dari kami mendapatkan satu amplop putih, entah apa yang ada di dalamnya. Guruku memberi perintah untuk setiap anak membuka amplop di tangan mereka. Betapa terkejutnya aku! Ternyata amplop tersebut berisikan nilai Ujian Nasional. Yang pertama kali aku cari adalah matematika karena aku takut jika nilai yang muncul sangatlah menyeramkan.
Kulihat secara perlahan dan seksama. 85! Sungguh nilai yang fantastis mengingat diriku yang tidak pernah mendapatkan nilai diatas 80 selama ulangan matematika. Lompatan serta teriakan kebahagiaan yang sudah tidak terbendung seraya menggambarkan betapa bangganya aku dengan diriku pada saat itu. Aku menangis seraya tidak percaya dengan hal yang terjadi, menganggap kenyataan ini seperti mimpi. Tegar kecil berlari menuju dekapan ibu yang sudah menunggu di ujung gerbang sekolah.
Kehidupan terus berjalan, memasuki masa Sekolah Menengah Pertama. Euforia masa-masa bangku sekolah dasar membuatku menjadi semangat dalam mengejar dunia pendidikan. Semangat tersebut tampak dalam diriku yang setiap hari mempelajari matematika. Aku mencoba belajar dari sumber manapun, baik internet, teman, maupun guruku sendiri. Matematika yang awalnya menjadi musuh bebuyutan, justru beralih menjadi sosok sahabat yang setiap hari aku pelajari. Kedekatan aku dengan matematika membawaku meraih ranking paralel 3. Cukup mengejutkan bagi seorang pemula seperti diriku saat itu. Masa SMP membuat diriku menjadi terus berkembang, khususnya dalam bidang akademis, Tegar dengan semangatnya terus mencoba mempelajari hal-hal baru. Singkat waktu, kehidupan berada di waktu kelulusan. Hinggalah saat pembacaan nilai tertinggi USBN tiba, guruku menyebutkan nama "Tegar Raffi Putra Jumantoro". Tangisan kebanggaan kembali muncul setelah 3 tahun berlalu. Ibuku menemaniku untuk naik ke atas panggung untuk penyerahan sertifikat dan hadiah. Aku peluk ibuku erat-erat, ucapan terimakasih dan maaf aku lontarkan. Berkat dukungan dan doa darinya serta bapak, membuatku berada sampai di titik itu.
Sekolah Menengah Atas. Aku diterima melalui jalur nilai Ujian Nasional dan ditempatkan di jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Aku cukup mendapatkan "tempat" di masa SMA ku. Kini aku tidak sendirian, 9 orang sahabat selalu ada dan menemaniku tatkala kesulitan menimpaku. Dukungan serta doa yang mereka berikan, membuatku menjadi peraih ranking 1 paralel selama 6 semester berjalan. Singkat waktu, hari perpisahan tiba. Perpisahan kali ini terasa berbeda, tidak adanya sosok ibuku yang selalu menemaniku karena Covid-19 melanda negara kami. Namaku kembali disebut pada saat pembacaan lulusan terbaik jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial. Kini, aku telah menguatkan tekad untuk tidak menangis. Tangisan yang dulunya menggambarkan rasa sesak dan kecewa, kemudian tangisan tersebut beralih menjadi rasa kebanggaan.
Jaksa. Kata yang selalu terucap saat aku ditanya tentang cita-cita. Pergolakan dunia hukum Indonesia, hingga munculnya istilah "hukum tumpul ke atas, namun tajam ke bawah" seolah menjadi pendorong bagiku untuk turut menegakkan keadilan di negri ini. Aku menempuh kuliah di Fakultas Hukum, Universitas Jember. Diriku yang semakin beranjak dewasa ini tertarik dengan bidang kepenulisan. Aku mencoba memasuki beberapa organisasi yang menunjang minat serta kemampuanku. Disinilah aku belajar, memandang cita-cita bukanlah hanya sebagai sebuah tujuan saja, namun cita-cita lebih daripada itu. Aku semakin memahami bahwa cita-cita bukanlah hanya untuk kepuasan pribadiku saja, namun cita-cita menjadi pembawa cahaya terang bagi terwujudnya harapan insan lainnya. Volunteer, sosialisasi, dan kegiatan sosial lainnya menjadi hal yang paling aku nantikan. Membawa kebermanfaatan bagi orang lain membuat diriku senang dan bangga. Aku tidak ingin orang lain merasakan apa yang aku rasakan dulu. Aku ingin membantu mereka dalam menggapai impian bersama-sama. Kini, kehidupanku semakin tidak kesepian, dukungan orangtua, sahabat, guru, murid, serta mentor yang tiada henti-hentinya membuatku semakin tergugah dalam menebar semangat dalam menggapai asa. Lirik lagu "aku yang dulu bukanlah yang sekarang" menjadi representasi kehidupanku saat ini. Aku senang menjalani kehidupan yang memberikan manfaat kepada orang lain. Prestasi yang paling membanggakan adalah saat-saat dimana diriku dapat memberikan kebermanfaatan bagi orang lain. Yang perlu aku tangisi saat ini bukan lagi tentang rasa insecure, namun rasa kebanggaan. Akhir kata, aku mengucapkan banyak terimakasih atas peran keluarga, sahabat, dan para pihak yang telah membantuku disaat mengalami keterpurukan. Tanpa kalian, aku bukanlah apa-apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tangisan Kekecewaan Menjadi Tangisan Kebanggaan
Short Story"Perjuangan tentu tak luput dari adanya pengorbanan. Badai yang terus menerpa tidak menggoyahkan ketetapan serta keteguhan hati dalam meraih impian. Pasang surut gelombang memang ada, namun tak membuat api semangat menjadi padam. Impian memanglah ab...