23 Desember 2005
Hari ini setelah sekolah usai, aku langsung pergi ke rumah sakit dengan menaiki angkutan kota. Mendengar ibu sudah dilarikan ke rumah sakit akibat kontraksi yang tak berkesudahan bapak berasumsi bahwa ibu tak lama lagi akan bersalin.
"Kiri, Pak!"
Aku segera turun dan memberikan uang seribu rupiah ke tangan kernet yang sudah menunggu di depan pintu angkot.
Dengan langkah cepat aku berlari masuk menuju resepsionis, menanyakan ruangan yang ibuku tempati.
"Kamar melati nomor delapan, dari sini kamu lurus nanti ketemu tangga langsung naik ke atas, nanti ada satpam yang ngarahin kamu di sana."
"Baik. Terimakasih, Mbak."
Mengikuti instuksi yang telah diberikan, aku dengan semangat menaiki tangga. Di ujung tangga sudah berjaga satpam dengan pakaian hitam sedang duduk ditemani secangkir kopi hitam di mejanya. Dengan nafas yang masih tersengal-sengal aku bertanya padanya,
"Pak, ruangan melati nomor delapan ada di sebelah mana ya?"
"Nomor delapan ada di pojok koridor ini, dek. Kamu langsung lurus aja"
"Terimakasih, pak"
Setelahnya kuhembuskan nafasku kasar, aku berjalan di lorong itu sambil melihat nomor yang tertera di depan masing-masing pintu. Sampai di pintu terakhir ujung lorong aku berhenti, dengan hati-hati kuketuk pintu ruangan itu.
"Masuk"
Mendengar suara bapak dari dalam, dengan itu kubuka pintu didepanku ini dengan pasti. Setelah pintu terbuka, aku bisa melihat ibu yang tengah terlelap lelah di atas tempat tidur nya.
"Pak, gimana kondisi ibu?"
"Seperti yang kamu lihat sekarang, alhamdulillah-nya masih hidup Ibumu ini. Kebetulan kamu udah di sini, Bapak pergi ke tempat kerja dulu. Kamu jagain Ibu di sini, sebentar lagi mas Tirtan datang, tunggu aja."
Finalnya, setelahnya bapak beranjak pergi keluar dari ruangan ini, menyisahkan aku dan ibu yang diam di tempatnya. Aku mengambil kursi dan duduk tepat di samping ibu, dalam diam aku menitikkan air mata. Melihat umur ibu yang kian menua, melahirkan anak diumur yang telah lanjut bukanlah hal yang mudah baginya. Malangnya ibu mendapatkan keluarga yang sulit seperti ini.
"Loh Dafin sudah datang ternyata..."
Aku tersenyum mendapati ibu yang sudah terbangun dan memanggilnya dengan suara yang parau. Senyumku memang masih mengembang, tapi air mataku enggan untuk berhenti.
"Kenapa nangis sayang? Ibu baik-baik aja loh... Sudah... Sudah..."
Bagaikan anak kecil, aku menerima usapan-usapan lembut di pundakku.
"Bu, kalau perlu apa-apa panggil Dafin ya"
"Iya... Nanti Ibu langsung panggil kamu kalau ada apa-apa. Anak Ibu perhatian banget, sayangnya Ibu sekarang sudah punya adik, gak jadi anak bontot lagi. Dijaga ya adiknya..."
"Iya Bu... Pasti Dafin jaga."
◇◆◇
"Kecil banget, Sus. Itu adikku masih hidup kan? Dia masih nafas kan, Sus?"
Melihat wajah panikku, suster itu hanya tersenyum.
"Masih hidup kok Dek, masih nafas juga..."
Incubator itu menyala dengan terang, memeberikan kehangatan kedalam badan kecil adiknya. Setelah puas melihat aku kembali masuk kedalam kamar ibu. Disana ibu duduk sambil mengupas beberapa potong buah apel dan meletakkannya kedalam piring.
"Gimana, udah ngeliat adik?"
Aku mengangguk membenarkan.
"Mas Tirtan sebentar lagi datang, kamu tunggu di rumah aja. Gak baik di rumah sakit terus, besok masih sekolah kan? Malam ini mas Tirtan yang jagain Ibu, kamu istirahat dulu"
"Aku tunggu di sini sampai mas datang aja, Bu"
Sambil mengusap lembut rambutku ibu menggeleng
"Pulang aja, istirahat di rumah ya... Ibu gak papa di sini, sebentar lagi mas mu datang"
"Yaudah aku pulang, tapi kalau ada apa-apa langsung kabarin ya, Bu. Langsung panggil suster juga"
"Iya... Iya..."
To be continue
16 September 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
CATATAN HARIAN SAYA YANG PERNAH HILANG | HAECHAN
Novela JuvenilMari mengintip sedikit dari kisah hidup yang penuh lika-liku masa muda yang rumit. Lewat catatan harian ini akan aku ceritakan semuanya, semua bagian dan detail-detailnya. Aku harap ini bisa menjadi kisah yang panjang untuk kuceritakan.