Matahari sudah jauh berjalan ke ufuk barat. Gugusan burung sudah berarak-arak pulang ke tempat asalnya. langit biru pun kini sudah berganti jingga. Suara azan pun sudah terdengar dimana-mana di kumandangkan oleh mu'azim.
Aku masih menelusuri jalan setapak, menuju gang rumah. Mungkin ini ke sekian kalinya harus pulang terlambat, terutama akhir-akhir ini. Maklum saja, anak-anak kelas 3 selalu di sibukkan dengan kelas tambahan untuk mempersiapkan diri menghadapi UN. Jadi, mau tidak mau, suka tidak suka harus di jalani. Hitung-hitung nambah ilmu, dan membuatku kehilangan waktu untuk di rumah.
Tit... tit....
"Sendirian Ra, sini aku antar pulang," Ucapnya yang masih duduk di atas sepeda motornya yang berwarna hitam dengan di hiasi hiasan merah dan apalah itu. Aku juga kurang paham mengenai itu.
Aku langsung mengiyakan tawarannya, hitung-hitung bisa menghemat energi. Jarak sekolah dan rumah bisa di katakan tidak terlalu jauh, kira-kira 10 menit kalau di tempuh dengan jalan kaki. Apalagi Ayah tidak mengizinkan kumembawa motor ke sekolah. Jangankan itu, buat belajar bawa motor saja tidak di perbolehkan. Alasannya ini itu lah, padahal aku sudah memintanya dari kelas 5 SD. Mungkin karena aku anak satu-satunya cewek di keluarga. Jadi, kudu di jaga dengan sebaik-baiknya. Positif thingking.
Seperti biasa, sesampainya di rumah mandi, bantu bunda siapin makan malam, nonton trus bobok. Emang biasa aja sih kegiatanya. Ya terus mau apalagi? Belajar? Entar-entar kalau moodku sedang baik, kalau nggak mau ujian UN aku baru belajar.
Hembusan dan belaian angit membuatku terhenyak di bawah taburan bintang yang berserakan di langit. Aku duduk sendiri di dekat tepi sungai di atas rerumputan hijau. Hanya ada aku, angin, udara, tanah dan makhluk lainnya. Malam itu terasa sunyi dan senyap. Aku tidak tau kenapa aku bisa berada disini, tapi entah mengapa aku merasa tenang, nyaman dan damai. Mungkin ini efek dari kelehan yang terjadi akhir-akhir ini. Pancaran sinar lampu yang beragam juga bisa aku saksikan dari tempat ini. Menandakan keramaikan kota yang berada di seberang sugai tersebut.
Entah dari mana, terdengar alunan-aluna indah itu. Ya, itu suara sesorang yang memainkan biola. "Aaa... so sweet banget,"pekiku. Gesekan demi gesekan antara dawai dengan pemetiknya membuatku semakin terhanyut dalam melodi indahnya. Namun, aku sendiri tidak bisa melihat sosok, sepertinya laki-laki, di balut dengan kemeja kotak-kotak dan lengan bajunya di lipat sampai siku. Rambutnya depannya yang sedikit panjang di biarkannya di terbangkan oleh sang angin malam. Dan dia juga menggenakan celanAa jeans warna dongker dan kakinya di bungkus dengan sepatu kulit yang seirama dengan warna bajunya. Tubuhnya yang jenjang membuatku harus melongokkan kepala ke atas. Tapi mengapa, aku tidak bisa mengenali wajahnya.
Saat aku mengalihkan pandangan ke arah gemerlap lampu yang bersinar yang berada di seberang sungat tersebut. Aku merasa alunan indah itu mulai tidak terdengar lagi. Dengan sigap aku mencari sosok sang pemain biola, tapi tidak ada satu pun orang berlari satau berjalan menjauhi tempat berdiri ku saat ini. Lapangan yang bisa di bilang tidak terlalu luas membuatku tidak kesulitan untuk mencarinya, tapi kenapa dia tidak dapat aku jumpai? Jangan... jangan....
"Aaaaaaa.... " aku memekik sekuat tenaga.
"Bangun Ra, udah pagi. Kamu nggak mau pergi sekolah?" Ucap bunda yang berjalan ke jendela untuk membuka gorden jendela.
"Emang jam berapa, Bunda?" Rengekku sambil mengumpulkan semua arwah yang masih bergentayangan.
"Jam 7 kurang, Ra," balas bunda.
"Apa Bun? Jam tujuh? Aaa... aku telat dong. Bunda kenapa nggak bangunin aku dari tadi sih, bun?
Aku langsung berhamburan pergi ke kamar mandi, tanpa mendengarkan penjelasan Bunda terlebih dahulu. Lalu, bersiap pergi sekolah dengan lari terpontang panting seperti dikejar anjing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan Colongan Milik Ara
Humorenggak bakal ada yang nyangka kalau aku kayak gini. mungkin sedikit ambigu buat di mengerti. ini isinya catatan sehari-hari cewek tenggil yang pemalas