34 | Lengkapnya Kesedihan

7 1 0
                                    

"Nih!"

Agnes memberikan rekaman suara Ayumi sewaktu di gedung SMP kemarin, mungkin benda ini akan cukup membantu Davin dan teman-temannya untuk membawa masalah ini ke ranah hukum. "Heran gue, kenapa kalian nggak ada yang percaya sama gue?"

Davin memasukkan benda itu ke dalam tas kemudian mendongak. "Lo selalu masuk BP karena kasus bullying. Lo ada di garis orang-orang yang nggak suka sama Zia. Apa alasan gue bisa percaya sama lo?"

Agnes mengedikkan bahu sebelum menyeruput teh manis pesanannya. Saat ini mereka sedang berada di sebuah warung pinggir jalan yang tidak jauh dari rumah sakit. Sejak Agnes mengirimkan pesan kepada Davin tadi, cowok itu dengan cepat bergerak menemuinya tanpa mempedulikan pertanyaan yang terlontar dari abang kembarnya.

"Lo ada hubungan apa sama Ayumi?" Davin menatap Agnes penasaran.

Agnes mengangkat sebelah alisnya. "Ayu, maksud lo?"

"Siapa pun namanya. Lo ada hubungan apa sama dia?"

Gadis itu tertawa sebentar, lucu rasanya mengingat hubungan pertemananya dengan Ayumi waktu itu. "Gue sama dia satu kelas waktu SMP," ujarnya singkat. Kemudian ia mulai menceritakan kisah pertemanan pahit yang ia jalani bersama Ayumi. Mulai dari apapun yang mereka lakukan di sekolah, sampai cerita di mana ia harus terpaksa di drop out. Semuanya berjalan begitu saja. Untuk pertama kalinya, cerita ini ia bagikan pada Davin, sebelumnya ia selalu memendam semuasendirian.

"Gue tahu, kalo Arjuna itu abangnya Ayumi, gue udah yakin dari awal kalo mereka ngerencanain sesuatu ke Zia. Tapi gue nggak pernah nyangka dia ngelakuin hal yang bener-bener diluar dugaan gue." Agnes memang sudah lama mencurigai dua orang itu, tetapi ia tidak terlalu peduli karena dia bukanlah orang yang dekat dengan Zia seperti yang Davin katakan tadi.

Kening Davin berkerut samar. "Abang?"

Agnes mengangguk. "Arjuna adalah anak dari selingkuhan bokap Ayu. Waktu nyokapnya mengandung Ayu delapan bulan, datang perempuan nganterin Arjuna yang masih berusia beberapa bulan. Nyokapnya nggak ada pilihan lain selain nerima anak itu karena bokapnya bakal menceraikan dia kalo menolak anak itu di rumah."

Dari penjelasan yang Agnes utarakan, Davin jadi mengerti satu hal.Tenyata Ayumi juga memiliki kehidupan yang tak kalah kelamnya dengan Zia.

Gadis itu meneguk minumannya sekali lagi sebelum berdiri. "Gue mau balik."

"Gue anterin," kata Davin singkat kemudian mengikuti arah langkah Agnes.

Agnes berdecak, menandakan bahwa ia menolak penawaran Davin. "Gue bisa pulang sendiri."

"Bukannya lo ke sini naik ojek online? Mending lo gue anter. Nggak baik perempuan pulang sendirian semalam ini," katanya kemudian memberikan jaket untuk Agnes pakai.

*****

Dua hari berlalu sejak kejadian kecelakaan itu, hari ini masa kritis Zia sudah lewat dan sudah bisa dipindah ke kamar perawatan. Danu duduk pada bangku di dekat brangkar, dengan mata yang tak juga terlepas dari wajah pucat gadis itu.

Hari ini ia meminta Abas untuk kembali bekerja seperti biasa dan meminta Rina untuk pulang ke rumahnya. Karena hari ini yang akan menjaga Zia adalah Danu dan dua sahabatnya yang lain. Sama seperti Rani dan Abas yang menganggap bahwa tugas menjaga Zia adalah kewajiban, merekapun merasakannya seperti itu.

Tangannya bergerak menyentuh pipi Zia, kerinduan yang begitu luar biasa menjalar dalam relung hatinya. Sudah sebulan ia tidak berbicara dengan gadis ini, sudah sebulan juga berlalu tanpa Zia di dekatnya. Danu begitu merindukan kehadiran Zia, suaranya, tawanya, semuanya. Potongan-potongan ingatan tentang bagaimana cerianya Zia terlintas dalam bayangannya seperti sebuah film yang sengaja diputar.

"Bangun, Zi. Gue kangen," katanya dengan perasaan rindu yang luar biasa. "Gue udah gagal ngelindungin lo. Maaf...," lirihnya, kemudian ia meletakan kepala di dekat tubuh Zia yang terbaring.

Dengan tangan yang masih menggenggam telapak tangan Zia, ia kembali berujar, "Maafin gue karena nggak bisa jagain lo."

Di detik berikutnya setelah kalimat itu terucap, sebuah pergerakan dari tangan gadis itu membuat kepalanya kembali terangkat. Hangat menjalar ketika melihat mata gadis itu bergerak. "Zi," panggilnya sebelum mata gadis itu terbuka sempurna.

Perlahan tangan Zia bergerak menuju pelipis Danu yang sempat terluka. "Danu, nggak apa-apa?" tanyanya dengan suara terbata. Dalam keadaan seperti ini, Zia justru lebih memikirkan keadaan Danu.

Sebelum tangan Zia menyentuh pelipisnya, Danu sudah lebih dulu meraihnya untuk digenggam. "Gue baik, kalo lo janji bakal tetap ada di samping gue."

Zia berusaha menarik kedua sudut bibirnya agar membentuk lengkung senyum. Hangat terasa saat tangan mereka bersentuhan. Danu mengaitkan jarinya diantara jari-jari mungil Zia, genggaman tangan itu terasa pas dan menghasilkan desiran darah hebat pada diri mereka masing-masing.

"Devan sama Davin kemana?" Matanya menyapu ke seluruh sudut ruangan.

"Beli makanan di luar."

Tak lama dua orang yang disebut Zia tadi muncul dari balik pintu ruangan. Seketika mata mereka berbinar menyaksikan gadis itu siuman, lalu dengan langkah cepat mereka menghampiri.

"Alhamdulillah," ucap Davin saat sampai di dekat brangkar Zia.

Devan meletakan sekantung plastik berisi makanan ke atas nakas. "Gue siapa?" tanyanya. Yang ada dipikirannya saat ini adalah Zia lupa ingatan ketika kepalanya terbentur keras waktu itu.

Davin berdecak mendengar ucapan Abang kembarnya itu. "Bego! Zia nggak lupa ingatan."

Gadis itu tersenyum melihat teman-temannya. Senang rasanya bisa kembali hadir saat sadar tak ada lagi tembok transparan yang membatasi antara dia dan ketiga sahabatnya.

Dibantu oleh Danu, Zia bergerak duduk untuk meneguk segelas air saat tenggorokannya terasa kering. Sesaat, keninganya berkerut samar ketika tidak merasakan keberadaan kedua kakinya. Segala tenaga sudah ia kerahkan untuk menggerakkan kedua kakinya, tetapi yang ia lakukan hanyalah sia-sia. Devan dan Davin saling tatap saat melihat gelagat aneh Zia.

"Kenapa, Zi?" Danu kembali meletakan air putih ke atas nakas.

Mata Zia memanas, karena takut hal buruk terjadi pada dirinya. Tangannya bergerak cepat menyingkap selimut yang menutupi kaki, tepat setelah selimut itu terbuka air matanya luruh.

"Danu...," lirihnya. Kedua kakinya masih lengkap, tetapi bedanya kaki itu sama sekali tidak bisa bergerak, kebas terasa ketika Zia berusaha menggerakkan kakinya. "Kaki Zia nggak bisa digerakin." Suaranya bergetar saat satu kata terlintas dalam pikirannya.

Lumpuh.

Danu memerintahkan Devan untuk memanggil dokter sementara dirinya dan Davin berusaha menenangkan Zia.

"Zia kenapa? Danu, Davin." Matanya mengarah pada kedua orang itu demi mendapat jawaban. "Kenapa kaki Zia nggak bisa digerakin?! Zia kenapa?" Ia terisak.

Danu memeluk tubuh gadis itu demi menenangkannya. "Lo enggak apa-apa, Zi. Percaya sama gue."

Bukannya tenang, tubuh Danu justru didorong Zia dengan kuat. "Danu bohong! Zia nggak mungkin nggak kenapa-napa!" Gadis itu menangis histeris. Zia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Zia nggak mungkin lumpuh, kan?" tanyanya dalam isakan. "Jawab.... Zia nggak mungkin lumpuh!"

Tangisnya pecah di ruangan itu. "Zia masih pengen bisa jalan-jalan, Zia nggak mau lumpuh...." Gadis itu menutup wajahnya dengan tangan, menggeleng-gelengkan setiap kata yang ia ucapkan tadi. "Bilang kalau Zia nggak lumpuh!" Suara seraknya masih terdengar dan membuat dua sahabatnya ikut merasakan sakit.

Tak kuat melihat Zia seperti itu, Davin mendekat ke arahnya. Diraihnya tangan gadis itu bermaksud agar bisa menguatkan. Kemudian, dengan suara bergetar dia berucap, "Apapun yang terjadi, kita bertiga nggak akan pernah ninggalin lo."

Tak lama kemudian, dokter masuk bersama suster dan Devan. Cowok itu menarik kedua temannya untuk mundur dan memberi ruang untuk dokter memeriksa Zia.

Dengan suara bergetar, Devan berkata, "Kemarin dokter bilang sumsum tulang belakang Zia retak. Zia mungkin beneran lumpuh."

*****

3DZia : Rasa (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang