Bagian Satu

119 10 0
                                    

10.00 AM

Tepat ketika jarum panjang jam bergeser ke angka 12, bunyi yang sudah sangat familiar di telingaku pun akhirnya berdenting kuat tiga kali. Pertanda jika kegiatan belajar-mengajar harus ditunda sejenak.

"Pelajaran ini akan saya bahas minggu depan. Jangan lupa juga untuk mengerjakan PR kalian, ya." begitu kata guruku, Miss Diani, sebelum beberapa saat kemudian dia berlalu dan meninggalkan kelas.

"Sha!"

Omong-omong soal nama, halo semuanya. Namaku Shafia. Shafia Audryanna. Kata ibuku, memanggil dengan sebutan 'Shafia' terasa lebih panjang. Maka dari itu, seluruh keluargaku sepakat untuk memanggil namaku dengan sebutan 'Sha' saja.

"Kau ingin ke kantin?" seorang gadis menepuk pelan bahuku sambil tersenyum tipis. Aku terdiam sejenak, antara menerima ajakannya atau tidak. Kuputuskan untuk mengangguk saja. Lagipula, perutku hari ini memang sedikit 'berisik' karena pagi tadi aku hanya sarapan dengan sepotong roti dan segelas susu saja.

"Aku mau membeli minuman dingin hari ini sebelum isi kepalaku meledak." Gadis dengan nametag Nadira Kinanti itu terus saja mengoceh hingga kami duduk di bangku kantin.

"Mengapa harus pelajaran Mr. Ren setelah ini, Ya Tuhan?" Nadira berujar sambil menengadahkan kepalanya ke langit-langit kantin yang tertutupi plafon.

"Apalagi Mr. Ren jarang sekali menerangkan pelajaran. Kasihan otakku yang kapasitasnya hanya sebesar kacang hijau." lanjut Nadira mendramatisir.

Bukan tanpa alasan mengapa seluruh murid disini merasa kurang nyaman dengan kehadiran Mr. Ren seminggu yang lalu.

Kami baru saja memulai awal tahun pelajaran baru di kelas 11 ini. Guru matematika kami sebelumnya, Mr. Gilbert, mendadak resign dengan alasan yang tak diketahui. Percayalah, saat Mr. Ren pertama kali berdiri di depan kelas, aku sama seperti murid lainnya. Awalnya kami merasa senang karena akhirnya Mr. Gilbert yang terkenal tak punya hati itu akan segera keluar dan digantikan oleh guru baru. Tapi, kalau gurunya seperti Mr. Ren, siapa yang senang coba?!

Awal dia masuk, dia hanya memperkenalkan dirinya dengan singkat saja. Selain itu, jaket berwarna cokelat ber- kupluk nya itu tak pernah dilepas. Ia juga memakai kacamata bulat dengan rambut yang acak-acakan. Siapapun pasti berpikir, apa benar dia seorang guru?

"Coba saja aku dianugerahi kapasitas otak seperti dirimu, Sha. Pasti aku akan mengerti apa yang Mr. Ren ajarkan." Nadira menggelengkan kepalanya dengan miris sambil terus menyeruput es teh yang sudah datang beberapa menit lalu.

"Aku saja tak pernah mengerti apa yang diajarkan oleh Mr. Ren." bukannya ingin sombong atau apapun itu, ya. Tapi, aku memang masuk di Gevara High School dengan jalur beasiswa. Selain sulit, sekolah ini juga sangat mahal biayanya. Membuat orang awam berpikir dua kali untuk masuk ke sekolah ini.

Tak main-main, sekolah ini juga punya ciri khas nya. Bisa dibilang, termasuk unik dan sedikit... aneh. Termasuk seragam.

Kami memang punya seragam dari hari Senin sampai Jum'at. Tapi kami juga punya seragam khusus. Namanya The Black Uniform.

Waktu pakai seragam ini pun menurutku terbilang aneh. Yah, namanya juga seragam khusus, pasti dipakai di hari khusus. Masalahnya, tak semua murid bisa dengan bebas memakai seragam ini meski dari awal pendaftaran sudah diberi seragam itu.

Bentuk seragamnya pun menurutku sedikit 'mewah'.  Untuk perempuan, seragamnya berbetuk dress panjang berlengan pendek dengan pin lambang Gevara High School yang dipakai di dada kiri. Sedangkan laki-laki, berbentuk setelan jaz hitam dengan celana berwarna senada, dengan pin yang sama-sama diletakkan di dada kiri juga.

Murid yang memakai The Black Uniform adalah murid-murid yang merasa hidupnya terancam. Jadi, pihak sekolah akan memberikan bantuan berupa bodyguard yang berjumlah lebih dari 5 orang untuk membantu menjaga murid agar terhindar dari bahaya, sampai dirasa situasi membaik, dan murid tak merasakan adanya ancaman lagi. Jangan tanyakan apapun lagi kenapa bisa ada peraturan aneh seperti itu di sekolahku. Ada yang bilang jika peraturan itu sudah ada sejak 3 tahun setelah sekolah didirikan. Aku berasumsi, mungkin saja ada suatu kejadian yang cukup traumatis hingga pihak sekolah memutuskan untuk mengadakan peraturan aneh itu.

"Kalian sedang membicarakan apa? Biar ku tebak. Pasti Mr. Ren, kan?" seorang laki-laki mendatangi bangku tempatku dan Nadira duduk. Ia langsung duduk disamping Nadira yang tengah asyik memakan seporsi bakso.

Laki-laki itu adalah Alvin. Termasuk teman dekatku juga. Aku, Nadira, dan Alvin saling berkenalan saat MOS setahun yang lalu.

"Kau seperti peramal saja." keluhku sambil meneguk lemon tea. Alvin tertawa singkat, sebelum ia memasang wajah serius.

"Kudengar, Mr. Gilbert sekarang sakit." Alvin berkata sambil merendahkan suaranya. Mungkin ia takut jika suaranya terdengar oleh murid lain.

"Oh ya? Kau tahu darimana?" Nadira memicingkan matanya. Terkadang, ucapan Alvin tidak bisa dipercaya. Ia terlalu banyak mendengarkan isu-isu yang tidak terlalu jelas dari mana itu.

"Dari media sosial. Ada akun anonim yang bilang bahwa Mr. Gilbert..." Alvin menggantungkan kalimatnya. Dengan gerakan tangan, ia mengisyaratkan kepalaku dan Nadira agar lebih mendekat.

"...membunuh anak istrinya." lanjut Alvin dengan suara setengah berbisik.

Aku menatap Alvin datar. Semua ucapan yang keluar dari mulut lelaki itu, sembilan puluh persennya ia dengar dari gosip yang tidak jelas.

"Kau pun akan kubunuh jika sekali lagi kau mengarang cerita yang tidak-tidak!" Nadira mendesis dan tangannya tak segan memukul belakang kepala Alvin dengan lumayan keras hingga lelaki itu mengaduh kesakitan.

"Kau akan terus berada dalam kesesatan jika terlalu percaya dengan apa yang dikatakan di media sosial, Alvin. Tak semua orang sebaik yang kau kira." Aku menggelengkan kepala. Masih tidak habis pikir dengan Alvin yang masih saja percaya dengan apa yang dikatakan di media sosial.

"Habisnya, kan, banyak juga yang berkomentar seperti itu. Aku hanya mengatakan apa yang tertulis di komentar saja." Alvin menyanggah. Kentara sekali dia melakukan pembelaan. Aku dan Nadira sama-sama bertatapan, kemudian menggelengkan kepala secara bersamaan juga.

"Sebaiknya kau memikirkan tentang pelajaran selanjutnya, Alvin." ucapan Nadira membuat lelaki itu langsung membulatkan matanya. "Pelajaran Mr. Ren, kan? Sudahlah. Lagipula, aku takkan pernah mengerti apa yang diajarkan olehnya." Alvin mengibaskan tangannya. Matanya yang semula membulat kembali relax.

"Padahal dari namanya kukira dia orang yang asyik. Ternyata malah lebih horor daripada Mr. Gilbert. Setiap dia masuk, bulu kudukku selalu merinding."

"Tidak, tuh. Setiap Mr. Ren masuk, kau selalu tertidur." aku mengendikkan bahuku sambil menatap tajam Alvin yang kini tersenyum hambar.

"Ayo segera ke kelas. Mr. Ren paling anti dengan keterlambatan, kan?" Nadira bersiap berdiri dari tempat ia duduk.

"AKU TIDAK MAU TUGASKU DITAMBAAAHH!"

"Entah sejak kapan aku bisa bebas dengan laki-laki satu itu. Selain suka menyebar isu yang tidak jelas, dia juga suka membuat malu orang." aku menatap prihatin pada Nadira sambil menganggukkan kepalaku.

.
.
.
.

Sebenarnya aku agak sedikit bingung mau publish cerita ini apa ngga. Soalnya ini kali pertamaku nulis cerita genre misteri/thriller kaya gini. Harap maklum jika semisal cerita baru ini ga sesuai dengan genre misteri pada umumnya ygy.

See u

Asfyaa


The BlueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang