Bagian Enam

55 5 0
                                    

Sesuai ucapan Mr. Ren, aku benar-benar menunggunya sepulang sekolah di dalam kelas. Bahkan aku menolak ajakan Nadira untuk membeli jajanan, dan memberitahu Sho agar dia tak menjemputku hari ini. Padahal, aku ingin sekali menikmati semua makanan bersama Nadira. Untung saja gadis itu tidak curiga dengan alasanku.

Mengerjakan tugas yang baru saja diberi Miss Diani.

"Dia melupakan ucapannya, ya?" Berkali-kali aku melirik jam di dinding kelas. Sudah 10 menit aku menunggunya. Apa mungkin dia di ruangannya, ya? Padahal, kan, aku sengaja menunggunya di kelas karena dia mengajar di kelas 11 MIPA 3 di jam terakhir, dan otomatis ketika dia keluar kelas, dia harus melewati kelasku, 11 MIPA 1.

Dengan kesal, aku keluar kelas, dan langsung menuju ke ruangan Mr. Ren. 

Dia didalam tidak, sih?

"Sedang apa kau disini?"

Demi Sho yang kalau tidur suka ngorok dan kalau dibangunkan susah sekali, sejak kapan Mr. Ren ada dibelakangku?! Aku membalikkan badan kesal. Sementara dia hanya menatapku santai. 

"Kau membutuhkan penjelasanku?"

Lihatlah wajahnya yang tampak begitu menyebalkan di mataku. Memangnya dia pikir aku kesini untuk meminta makanan padanya?

"Aku ada sedikit kue kering di laciku. Bisa kau ambil, kalau kau lapar."

"Kau bilang kau ingin menjelaskan padaku, kan? Cepat jelaskan!"

Dia membuka pintu, gesturnya mengisyaratkan aku untuk masuk. Begitu aku masuk, suasana ruangan langsung berubah seketika. Cahaya lampu tidak lagi tersorot, dan ruangan itu gelap gulita. Aku mengepalkan tanganku, bersiap jika Mr. Ren melakukan hal yang tidak-tidak terhadapku, akan kuberi dia satu tinjuan mematikan.

Ruangan yang gelap itu, seketika bersinar terang dengan cahaya kebiruan, yang terpancar melalui pedang yang digenggam Mr. Ren. Bukan hanya pedangnya, melainkan mata, hingga urat tangannya mengeluarkan cahaya biru. Baru kusadari, ternyata inilah wujud asli Mr. Ren. Tanpa kacamata, tanpa jaket cokelat dengan kupluk yang setia dikepalanya, dan tanpa rambut yang berantakan. Dia memakai baju kemeja hitam yang lengannya digulung hingga batas siku.

Aku tersentak, mundur selangkah. Apa semua ini? Bergantian aku menatap pedang dan mata Mr. Ren yang tertuju ke arahku. Pandangan itu lurus, membuat diriku tak berkutik.

"Kau ini... siapa sebenarnya?"

Semakin lama, dia semakin maju, mengikis jarak antara kami.

"Aku tidak mati, dan juga tidak hidup. Terserah kau mau mendefinisikan aku apa."

Tanpa aba-aba, tanpa memikirkan kembali apa yang aku lakukan, tanganku bergerak begitu saja, menancapkan sebuah pena yang tintanya sudah habis ke lengannya. "Kalau kau ingin berbicara omong kosong, bukan aku yang seharusnya kau ajak bicara, pembunuh!" desisku tajam. Jangan tanyakan lagi bagaimana keadaanku. Jantungku terus berdegub kencang, dan keringat mengalir dari pelipisku.

Tanpa kuduga, Mr. Ren tertawa kecil. Menatapku dengan raut wajah meremehkan.

"Kalau kau ingin membunuhku..." Dia menghempas tanganku, membiarkan pena itu terus menancap di lengannya. Seketika, ruangan kembali terang. Baru kusadari ternyata lengan itu sama sekali tak mengeluarkan darah.

"...setidaknya lakukan dengan benar." Dengan santai, ia mencabut tancapan pena itu di lengannya, membuang begitu saja ke sembarang arah. Jantungku rasanya berhenti berdetak kala Mr. Ren mengarahkan pedangnya tepat ke leherku. Mataku membulat menatap dirinya yang tersenyum sinis. Aku yakin, sekali tebasan saja cukup membuat kepalaku langsung terlepas dari tubuh.

The BlueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang