23. Hai Janu, Jani Tidak Membencimu

16 7 0
                                    

Sudah beberapa hari Anjani menjalani hidupnya sekarang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sudah beberapa hari Anjani menjalani hidupnya sekarang. Ia menghabiskan waktu di rumah, kuliah, dan bermain bersama Taraka. Tak ada satu hari pun ia mencari Renjanu.

Ini semua makin terasa aneh. Perasaannya untuk Renjanu terasa berbeda. Bahkan selalu saja niatnya terurungkan untuk mencari Renjanu.

Sore ini Anjani berada di sebuah pantai bersama Taraka. Menikmati indahnya langit jingga dan matahari yang mulai menghilang seolah tertelan oleh laut. Udara yang sejuk menambah hawa nyaman pada momen ini.

Anjani menikmatinya, sejenak sebelum hatinya kembali bimbang. Ia sudah tau bahwa hubungannya dengan Taraka hanya sebatas sahabat itu tandanya hatinya tidak berpindah secepat itu, kan?

"Anjani," panggil Taraka. Suaranya rendah dan lembut. Membuat kepala Anjani menoleh perlahan. Gadis itu tidak mengucap apapun. Namun, rautnya menunjukkan bahwa ia menunggu kalimat selanjutnya yang akan Taraka katakan. "Menurutmu persahabatan cewek sama cowok bakal berhasil?"

Tentu Anjani ingin sekali menjawab tidak. Mengingat hubungannya dengan Renjanu yang berakhir menjadi sepasang kekasih. Mengetahui fakta bahwa keduanya saling memendam perasaan. Persahabatan dua orang lawan jenis tak akan berhasil.

Berbeda dengan apa yang ingin hatinya katakan. Gadis itu menggelengkan kepalanya pelan. "Bisa kok, buktinya kita tetep bisa sahabatan," jawabnya diiringi dengan senyum lebar.

Taraka ikut menarik senyumnya. Rautnya nampak seperti menerima jawaban Anjani. Berbeda dengan hatinya yang merasa sebuah kekecewaan. Rasanya seperti ada yang sengaja menggoreskan pisau ke dalam jantungnya.

Lalu semuanya berubah menjadi hening. Keduanya saling mengalihkan pandangan. Anjani yang kembali menikmati senja sembari merenungi hidupnya. Sedangkan Taraka hanya menunduk melihat butiran pasir yang nampak tak berdaya. Terinjak, tersapu ombak, tapi tak bisa berbuat apa-apa.

Ia memejamkan matanya sejenak. Melihat pasir yang terasa sama seperti dirinya. Kini ia tidak mampu melakukan apapun, mengubah perasaan Anjani saja dia tidak mampu. Ia selalu saja kalah dengan sosok Renjanu. Lelaki itu bagaikan ombak yang menyapunya.

"Gimana kalau aku punya perasaan berbeda?" Mata Anjani membulat sempurna kala ia mendengar pernyataan Taraka. Jantungnya berdegup tak karuan. Bukan, rasanya tidak seperti saat ia bersama Renjanu. Tidak sama seperti saat Renjanu mencubit pipinya atau sesuatu yang Renjanu lakukan. Debaran itu berbeda, menjalar sebuah rasa takut pada dirinya.

Anjani menggelengkan kepala. "Maaf," ucapnya pelan. Mana mungkin ia bisa menerima Taraka sedangkan perasaannya masih untuk Renjanu. Meskipun semua terasa aneh sekarang. Anjani masih tegap yakin perasaannya untuk Renjanu.

"Kenapa? Aku kurang apa?" Taraka membombardirnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang sulit untuk Anjani jawab.

Tidak ada, Taraka tak punya kekurangan. Hanya saja Taraka bukanlah Renjanu dan fakta itulah yang tidak bisa di ubah.

"Ngga bisa," ujar Anjani. Tangannya gemetar penuh ketakutan. Ia berdiri sedikit menjauhkan dirinya dari Taraka. Membuat jarak beberapa meter dari lelaki itu.

Taraka masih tak percaya. Bagaimana bisa hanya dia yang punya perasaan pada gadis itu? Sedangkan gadis itu tidak mempunyai hal yang sama. "Kenapa ngga bisa? Karena gue bukan Renjanu?"

Sontak mulut Anjani terkatup rapat-rapat. Mulutnya ingin berteriak mengatakan 'iya'. Namun, apa yang terjadi? Dia tidak bisa mengungkapkan satu kata pun.

"Kenapa lo masih nyari Renjanu? Lo sendiri benci sama Renjanu, Anjani?" Suara Taraka kian meninggi. Urat lehernya nampak mengencang. Lelaki itu benar-benar di puncak amarahnya.

Anjani makin gemetar, seumur hidupnya ia tidak pernah di bentak. Apalagi Renjanu tak pernah meninggikan suaranya. Renjanu selalu merendahkan suaranya saat marah.

Langkah Anjani makin mundur. Ia mencoba menjauh dari Taraka. Entahlah, selain bingung dengan apa yang Taraka ucapkan, ada gejolak rasa takut yang menyerangnya.

"Anjani? Lo masih benci Renjanu, kan?" tanya Taraka tapi sudah tidak bernada tinggi. Lelaki itu mencoba mendekati Anjani. Namun gadis itu malah semakin menjauh.

Anjani tidak akan percaya semudah itu. Mana mungkin dia membenci Renjanu. "Ngga, Jani ngga pernah benci Janu," sangkalnya. Akhirnya mulutnya bisa mengatakan apa yang ingin ia ucapkan.

Taraka makin mendekati Anjani. Mencoba mengikis jarak dengan gadis itu. Hingga tangannya mencengkram erat pergelangan Anjani. "Lo benci sama Renjanu, Anjani," ucap Taraka seolah ingin memberi tau gadis itu bahwa benar dirinya membenci Renjanu.

Kepala Anjani menggeleng menolak semua yang Taraka katakan. "Taraka," rintihnya saat pergelangan tangannya terasa perih. Tubuhnya gemetar makin takut. "Sakit!" ujarnya bersamaan air matanya yang membasahi kedua pipinya.

Taraka tersentak, seperti baru tersadar dengan apa yang ia lakukan. Tangannya melepaskan pergelangan Anjani. Rautnya penuh dengan rasa penyesalan. Ia menatap Anjani dengan lembut, seolah memohon maaf pada gadis itu.

"Jani, gue minta maaf," ujarnya. Ia mundur beberapa langkah. Kepalanya berdenyut sangat kencang. Ia tidak menyangka akan melakukan hal seperti itu pada Anjani.

Anjani menarik napasnya dalam-dalam. Ia mencoba mengurangi rasa takutnya. Perlahan ia mendekati Taraka yang tertunduk sembari memegangi kepalanya. Tangannya menepuk pelan punggung Taraka. "Jani tau kalau Taraka tadi ke bawa emosi," ucapnya lembut walaupun suaranya masih ada getaran ketakutan.

"Maaf, maaf Jani. Harusnya gue ngga ngelakuin itu," ujarnya penuh penyesalan.

Anjani menarik Taraka ke dalam dekapannya. Ia mencoba menenangkan lelaki itu. "Jani ngga apa-apa kok," ujarnya sembari memberikan tepukan pelan pada punggung lelaki itu.

"Tapi Jani beneran udah ngga benci Renjanu?" tanya Taraka.

Lagi-lagi mulut Anjani kembali terasa kelu. Mengapa tiap pertanyaan itu ia kesulitan menjawab? Padahal hatinya ingin sekali mengatakan bahwa dirinya tak membenci Renjanu.

Taraka mengeratkan pelukannya. Mencoba mencari rasa nyaman dari Anjani. "Anjani tau kan Renjanu bukan orang baik," ujarnya.

"Iya, Jani tau." Mata Anjani membulat kaget mendengar apa yang keluar dari mulutnya sendiri. Tubuhnya seperti tak dapat ia kendalikan.

Sebesar apa rasa bencinya pada Renjanu. Mengapa dengan entengnya ia menjawab seperti itu? Apa yang di lakukan Renjanu padanya?

"Taraka," panggilnya. Taraka melepas pelukan itu perlahan. Lalu menatap Anjani penuh tanda tanya. "Kita pulang yuk," ajaknya. Matahari benar-benar sudah tenggelam. Kini langit sudah mulai menggelap dihiasi beberapa kerlip bintang.

Taraka benar-benar membawanya pulang tanpa banyak bertanya. Namun, Anjani masih punya ribuan pertanyaan dalam benaknya. Mengapa tiap kali ia kembali ke masa lalu selalu saja melupakan hal-hal penting. Apa itu konsekuensi telah mengubah takdir?

"Janu masih hidup kan, ya?" gumamnya sembari menatap gemerlap langit yang makin lama makin berkabut kala mereka sudah memasuki area kota.

Pendengaran Taraka tak menangkap ucapan Anjani. Jika mendengarnya, sudah pasti lelaki itu akan seperti tadi. Anjani saja mencoba untuk tidak mengatakan apapun.

Ia memejamkan matanya. Tanpa sadar membaut air matanya menetes. Ada sebuah getaran aneh dalam dirinya. Seperti sebuah perasaan yang tertahan. Rasanya begitu perih menghujam dadanya. "Jani kangen," cicitnya.

Hai Janu || Enerwon ||Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang