Padang gurun. Lagi-lagi sebuah tempat yang sudah sangat kuhafal persis seperti apa. Gersang dan tandus. Malam di tempat ini terlihat berbeda. Bulan nampak sangat besar, sangat dekat dengan bumi. Bahkan aku tidak yakin bahwa tempat ini adalah bumi.
Dua sosok yang sudah sangat kukenali berada tepat di depan mataku, dalam artian, aku sudah sangat bosan melihat kedua sosok itu. Bukan karena rupa mereka seperti apa, tapi apa yang kusaksikan ini, sudah yang kesekian kalinya. Kuakui kedua sosok ini terlihat menawan. Perawakan yang gagah, kulit yang putih, mata yang biru, rambut yang panjangnya sebahu, dan telinga yang runcing. Dua sosok itu adalah elf.
Mereka berinteraksi satu sama lain, namun aku tidak bisa mendengar apa yang mereka katakan. Kurasa mereka sedang berdebat. Mereka juga sepertinya tidak bisa mendengar atau merasakan kehadiranku. Aku tau selanjutnya salah satu di antara mereka akan mati.
Sudah kubilang, aku sudah sangat bosan dengan ini. Berdebat dan berdebat, ketika yang satunya lengah, yang satunya lagi akan menghabisinya dengan sebuah sabit yang di genggamnya.
Selesai. Semuanya terjadi begitu cepat. Akhir hidup salah satu elf, dan akhir dari mimpiku yang sangat membosankan.
Aku terbangun ketika merasakan cahaya matahari menyentuh wajahku. Seseorang telah melakukan sesuatu untuk membangunkanku.
Namaku Gildash. Usiaku enam belas tahun. Aku anak tunggal, yatim piatu. Aku berambut gondrong berwarna pirang keemasan. Menurut teman sekelasku, aku adalah yang paling bodoh dari yang terbodoh. Itu karena aku yang suka mengacau dan sering bersikap konyol.
Meskipun begitu, aku tidaklah terlalu bodoh. Nilaiku pun di atas rata-rata. Hanya karena tingkahku saja, sehingga teman-temanku memberi aku julukan, paling bodoh dari yang terbodoh.
Aku tinggal bersama Kakekku yang bisa dibilang, sulit menjelaskannya, sepertinya sedikit pikun. Yatim piatu, dua kata yang berusaha untuk kupercaya. Ayah dan Ibuku sudah lama meninggal, sejak aku berusia empat belas bulan. Itu kata Kakek. Tapi aku bisa merasakan bahwa kadua orang tuaku masih hidup. Entah berada dimana, di luar sana.
Empat belas bulan apa yang bisa kuingat tentang orang tuaku? Jelas tidak ada.
Hidup tanpa orang tua tentu membuatku sedih. Namun, aku tetap bersyukur memiliki sosok Kakek di sisiku. Dia adalah sosok yang selalu bisa ku andalkan dalam segala hal. Tak hanya membesarkanku, dia juga merawatku ketika aku dalam keadaan sakit. Benar-benar sosok yang penyayang.
Tapi tetap saja, aku tidak bisa melupakan satu fakta, bahwa Kakek adalah seorang veteran, mantan tentara. Sikapnya yang juga sangat tegas sangat mendukung hal tersebut. Apalagi ketika marah, atau ketika aku melakukan suatu kenakalan, dia benar-benar akan menghukumku. Seperti ketika aku tertangkap basah mencuri roti dari tokonya. Dia mengikatku pada sebuah tiang, dan membiarkanku seharian di tiang itu. Aku yang saat itu berusia enam tahun, menantangnya.
"Kau akan Kakek lepaskan jika kau minta maaf." Ujar kakek.
"Tidak mau wlee. Aku bisa bertahan disini sampai kapanpun Kek." Kataku sembari menyengir lebar.
Usiaku saat itu, orang-orang pasti akan dibuat frustasi olehku. Kakek benar-benar membiarkan aku terikat di tiang itu. Namun ketika dia melihat aku sudah tertidur dalam keadaan seperti itu, dia tetap melepaskanku. Dia menggendongku masuk kedalam mobil, lalu kembali kerumah.
Di hutan dekat rumah kami tinggal, aku membuat sebuah gubuk kecil di dekat telaga. Aku sering menggunakannya sebagai benteng saat bermain perang-perangan bersama kakek.
"Gil, ayo serang! Musuh bersembunyi di telaga." Seru Kakek.
"Ayo serang mereka Kek!" Balasku seraya mengangkat senjata api mainanku di tangan kanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
DISTRIK HUTAN
Science FictionNamaku Gildash. Aku remaja biasa seperti kalian. Remaja dengan kehidupan normal. Sampai suatu hari, aku kehilangan semua hal normal dalam hidupku. Munculnya sebuah kemampuan unik dalam diriku, membuatku menjadi berbeda. Aku tidak tau hal ini disebut...