Belajar bersama merupakan hal yang wajar bagi siswa dan bisa ditemui dimana saja, bisa di cafe, di perpustakaan kota, atau di rumah sendiri terasa nyaman bagi mereka. Untuk belajar bersama, setidaknya mereka harus merasa saling nyaman satu sama lain untuk menciptakan suasana yang kondusif dan mampu memberikan suasana belajar-mengajar yang cukup efisien.
Namun, hal tersebut sepertinya tidak memungkinkan untuk terjadi hari ini di rumah Jaemin...
Atmosfir dalam ruangan ini cukup gelap walaupun hanya diisi oleh empat remaja laki-laki. Jaemin melirik ke arah dimana Renjun duduk, disana ia tengah mengurut pelipisnya, sesekali ia menghela nafas panjang dan lelah berkat seseorang yang diajarnya semenjak satu jam yang lalu, Haechan.
Dua orang yang saling bertolak belakang ini memiliki hubungan yang cukup unik. Haechan yang selalu mengganggu Renjun dimanapun kapanpun, Renjun yang memiliki kesabaran tipis terkadang membuatnya ingin mengubur Haechan di dasar Namsan Tower. Jaemin akui, dua orang ini entah mengapa sangat berbeda hari ini.
“Lee Haechan, bisakah kau menanggapi ini dengan serius? Kau memintaku mengajarimu tapi kau...” Renjun menghela nafasnya panjang sekali lagi. Biasanya, daripada menghela nafas, Renjun akan memilih untuk melayangkan sebuah pukulan atau mencekik leher Haechan. Sekali lagi, hari ini bukanlah hari yang cukup biasa bagi mereka berdua.
“Mengajari pantatku, kau bukan mengajari Bahasa Korea padaku, melainkan bahasa umpatan.”
“Itu karena kau selalu kehilangan fokusmu! Ada apa denganmu hari ini sebenarnya?”
“Aku? Wah Renjunie sangat peduli padaku ternyata~ Biarkan aku menciummu sekali mumumumu~”
Baiklah, sepertinya pokok masalah bukan terletak pada Renjun dan Haechan. Mereka tetap bertengkar seperti biasanya dan Haechan juga menunjukkan sikap clingy pada Renjun seperti biasanya. Namun Jaemin masih bisa melihat atmosfir yang tidak bersahabat, dan entah mengapa atmosfir itu menguap berlebihan dari... Lee Jeno.
Jaemin mendekatkan badannya pada Jeno dan berbisik, “Jeno-ya, apa kau bertengkar dengan Haechan?” Jeno, yang sejak tadi terdiam sembari mengerjakan puluhan soal yang ada dalam buku latihannya, yang seharusnya mengajari Jaemin mengenai bab phytagoras, yang sedari tadi hanya menundukkan kepala, akhirnya melihat ke arah Jaemin dengan mata lebar.
Pertanyaan tak terduga itu membuat Jeno tertawa kaku. “Ahaha... Kurasa tidak? Mungkin...”
Jawaban yang ragu dan tidak pasti itu membuat Jaemin terdiam, ia tak tahu harus berkata apa. Mungkin tak seharusnya ia ikut campur dalam masalah Haechan dan Jeno, namun ia merasa tak enak telah mengundang Haechan dan Jeno bersamaan sebelum mereka sempat untuk menyelesaikan masalah mereka.
Baru saja Jaemin memikirkan untuk bagaimana mendamaikan suasana mereka, dering ponsel Renjun memecah lamunannya.
“Ah tunggu, aku akan mengangkat teleponku dulu diluar.” Setelah itu, Renjun beranjak pergi keluar kamar. Melihat kesempatan yang terbuka lebar tersebut, Jaemin langsung menggunakannya! “Wahh aku lupa untuk mengambil minuman untuk kita! Kalian pasti panas dan kehausan ya? Aku akan mengambilnya sebentar, oke...?”
Sontak perkataan tersebut membuat dua orang yang tersisa disana menoleh ke arah Jaemin sekaligus.
Bila melihat wajah Jeno, wajah tegas namun terkesan melankolis itu seperti berkata, 'Apa maksudmu? Jaemin-ah, apa kau tega meninggalkanku dalam suasana ini? Setelah aku memberitahumu apa yang terjadi? Sunguh????'
Ketika Jaemin memalingkan muka ke arah Haechan... Uh, Jaemin tak mampu menebak apa perkataan yang akan ditampilkan wajah tersebut selain umpatan dan caci maki yang bisa membuat kedua telinganya mengalami pendarahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Is It What You Called Love? || JaemRen
FanfictionBagaimana orang-orang mendeskripsikan perasaan mereka ketika jatuh cinta? Mungkin manis seperti cokelat, namun juga memberikan rasa sedikit getir di lidah. Setiap orang memiliki pengalaman mengenai cinta yang berbeda-beda. Lalu, bagaimana dengan me...