"Eh? Tumben minta Nak Joko, Pak." Ekspresi heran tercetak jelas di wajahnya. Seorang ibu rumah tangga berusia 40an tengah menelpon ayahnya yang kini sedang rawat inap di rumah sakit terdekat.
"Memangnya kenapa? Nggak boleh?" Wajah dan nada kasar sudah melekat pada diri Mbah Kung, jika bersikap lembut rasanya bukan diri beliau.
"B-bukan nggak boleh, Pak. Kaget aja. Tapi—" Ibu yang hendak melirik jam dinding langsung batal karena Mbah Kung langsung menerabas ucapannya dengan nada lebih tinggi, telepon pintar tersebut nyaris melesat dari genggaman tangan kasarnya.
"Apa tapi tapi! Si Bob nggak mau datang? Kasih Hpnya! Biar Bapak yang bicara langsung!"
"Nak Joko belum pulang, Pak." Ibu langsung menerabas agar ayah mertuanya tidak membuat keributan di sana dengan suaranya.
"Loh? Belum balik? Ke mana dia? Kerja kelompok?"
"Kayaknya nggak ada acara, Pak. Nak Joko pulangnya jam 3 sore."
Mbah Kung terdiam sejenak di sana dengan mulut yang terbuka, tergesa-gesa ingin melontarkan kata-kata tapi bingung ingin berkata apa.
"Jam sekolahnya sekarang nambah?"
Ibu menghela napas sejenak dan berkata lembut. "Bapak lupa? Nak Joko sudah SMA, mau lulus malahan, pulangnya sudah bukan jam 1."
Kembali sunyi. Mbah Kung tak bisa berkata-kata. Akhirnya ibu memutuskan untuk menutup perbincangan ini karena sudah tidak ada apa-apa yang ingin Mbah Kung sampaikan.
"Nanti kalau Nak Joko udah pulang, Kirana sampein, Pak."
"I-iya ya."
"Teleponnya Kirana matiin ya, Pak, mau lanjut bersih-ber—."
Panggilan langsung dimatikan oleh jempol Mbah Kung, kemudian mengembalikan benda balok pipih tersebut kepada perawat tanpa mengucapkan terima kasih, sang perawat pun pamit dari ruangannya setelah tidak ada hal yang diperlukan.
Kini beliau sendiri di ruang inapnya. Pandangannya kosong. Napas berat orang lansia menambah kesan galaunya.
"Sudah besar rupanya cucuku."
***
Ramainya lapangan oleh para siswa-siswi menjadi pemandangan khas di jam kepulangan. Bukan tanpa sebab, akses menuju parkiran harus melewati lapangan SMA yang luasnya bisa digunakan untuk upacara dan kegiatan olahraga.
Di antara ratusan siswa-siswi SMA itu, ada tokoh utama cerita ini. Joko Bestari, baris nama yang terjahit pada nametag seragam adalah identitasnya. Tapi yang akan paling banyak disebut di sini justru nama Bobby, panggilan yang diberikan oleh pamannya dan sudah melekat pada dirinya.
Bobby tipe laki-laki yang sering disalah sangka karena penampilannya. Wajah garang dan kekar secara alami yang diturunkan oleh Mbah Kung membuatnya sering dijauhi karena takut. Ditambah dia anak pendiam akut yang membuatnya tak memiliki satu sahabat karib semasa sekolahnya. Dan buktinya adalah saat ini dirinya berjalan sendirian ke parkiran sementara orang lain berjalan bersama teman atau kekasih.
Dia selalu sendiri. Terkadang tak mempermasalahkannya dan terkadang pula khawatir. Satu pertanyaan yang selalu ada dalam benaknya; apakah dirinya akan selamanya seperti ini?
Jarum panjang pada jam dinding rumah sudah menyentuh pada angka lima, bertepatan dengan hal itu keadaan rumah sederhana yang tadi sunyi kini terdengar suara motor Bobby di halaman rumah.
Setelah meletakkan motor vespa berwarna olive di teras, ia memasuki rumah bercat hijau mint dan putih yang nyaman itu. Datang ke dapur untuk bersaliman kepada ibunya yang sedang menyiapkan makanan di atas meja makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bobby & Bobby
Teen FictionJika ditanya apa yang ia hindari saat ini, itu adalah rumah kakek-neneknya. Mengejutkannya dirinya harus menjaga rumah itu beserta kucing yang memiliki nama seperti dirinya, Bobby. Bobby adalah siswa SMA pendiam yang sering disalahpahami karena tubu...