Lempar Tanggung Jawab

2 2 0
                                    

Buku terbuka lebar di atas meja ruang tamu, memperlihatkan halaman penuh dengan ratusan kata yang termuat dalam selembar soal. Jemarinya memainkan pulpen dengan luwes di tengah kerasnya otaknya berpikir. Jendela besar di belakang memersilahkan cahaya sore menghangatkan punggungnya. Angin sepoi-sepoi yang datang dari arah yang sama turut memberikan sejuk.

Setelah pertemuan singkat dengan Mbah Kung tadi, Bobby langsung pulang untuk mengerjakan pekerjaan rumah yang telah menantinya. Tapi sekuat apa ia berpikir sekarang, fokusnya sedang terbagi. Permintaan Mbah Kung masih menjadi sebuah pertimbangan dalam benaknya.

"Gimana sama Mbah Kung, Nak?" Ibu datang ke meja, menyerahkan secangkir teh yang bersinar dengan aesthetic karena pantulan sinar matahari.

"Nggak gimana-gimana, Buk," jawab Bobby sembari berpura-pura berpikir keras pada salah satu soal. Ia tak ingin bercerita perihal amanah Mbah Kung.

"Hooo, begitu kah?" Ibu berjalan kembali ke dapur. Tapi baru beberapa langkah beliau berhenti dan menoleh.

"Jadi, habis ngerjain PR langsung ke rumah Mbah Kung?"

Seluruh gerakan pada Bobby langsung terhenti. Ibunya tahu. Mbah Kung juga cerita ke Ibu? Kemungkinan besar begitu, sih.

Bobby memegang tengkuk lehernya. Matanya melihat ke arah lain, gerakannya kikuk.

"Anu, soal itu... Harus Bobby, kah?"

Keduanya beradu pandang. Bobby tambah gugup, ia memainkan jemarinya sendiri.

"M-m-maksud, Bobby...." Ia membersihkan tenggorokan. "Bobby kan sibuk sekolah, jadi nggak bisa setiap waktu jaga kucing Mbah Kung."

"Lalu? Siapa yang jaga rumah dan kucing Mbah Kung?"

"Ya..." Bobby berpikir sejenak, dan ia menemukan ide dengan cepat. Inner dirinya menjentikan jari dan tertawa penuh kemenangan, rasanya ini ide yang bagus.

"Gimana kalau Ibu yang tinggal di rumah Mbah Kung dulu, kan bisa jaga seharian penuh. Kalau Bobby bisa jaga diri sendirian di rumah, kerjaan rumah juga bakal Bobby kerjain, tenang aja."

"Terus Ayah?"

"Ikut ke rumah Mbah Kung juga. Apalagi di sana suasananya enak, kan? Ayah juga pasti bakal nostalgia. Masa kesempatan ini dilewati?" Pintar sekali berbual.

Ibu menghalu. Ia pikir ada benarnya kata-kata Bobby. Siapa juga yang tidak mau tempat tinggal dengan suasana adem, ayem, tentrem.

"Iya, sih, enak banget di sana."

Bobby masih senantiasa menampilkan senyum khas sales, sementara dalam hatinya sudah bersorak merayakan kemenangan, siap melepaskan amanah.

"Memang anak baik kamu, Nak. Jadi pengen kasih hadiah."

"Apaan, tuh?"

"Hadiahnya adalah kesempatan Ibu yang kamu tawarkan, kamu sampai muji-muji rumah Mbah Kung begitu dalam lubuk hatimu pasti juga mau, kan?"

"Anu—"

"Kesempatan jangan dilewati." Kalimat pamungkas dengan senyum matahari. Ibu menyerangnya dengan mengembalikan kata-kata Bobby.

Misi lempar tanggung jawab gagal. Memang tidak bisa lari dari amanah.

"Jadi habis ngerjain PR langsung ke rumah Mbah Kung, ntar malam barang-barang yang diperluin dianter sama Ayah, oke?"

"A-a-anu, Bobby tetep tinggal di sini, ke rumah Mbah Kung cuma sebatas bersih-bersih sama kasih makan kucing."

"Okelah."

***

Bobby sudah di perjalanan menuju rumah Mbah Kung yang ada di kampung sebelah. Tidak bisa dikatakan jauh dan tidak bisa dikatakan pula dekat, dengan kecepatan 90 km/jam mereka tiba dalam waktu 10 menit. Ya, mereka, Bobby dibonceng oleh Ibu yang memutuskan ingin melihat-lihat sejenak.

Rumah sederhana dengan tone warna vintage ini terlihat antik. Halaman yang penuh dengan formasi bermacam bunga segar menjadikannya ladang foto aesthetic.

"Sebelumnya yang jaga rumah Mbah Kung selama seminggu siapa?" tanya Bobby penasaran.

"Kalau pagi, tetangga kepercayaan Mbah Kung. Kalau sore Ibu."

Mereka langsung masuk dengan kunci yang disembunyikan di bawah karpet, memang tempat yang tak aman, tapi keamanan lingkungan ini jangan diragukan. Warganya ramah dan peduli. Tidak ada yang julid dan senang saling membantu. Pantas saja Mbah Kung betah sendirian di sini.

"Meow!"

Meongan dan gemeriting bel terdengar mendekati mereka yang hendak masuk ke dalam.

Ibu berbalik dan tersenyum melihat sesuatu yang datang. "Itu dia bocahnya."

Begitu Bobby berbalik, makhluk berbulu setinggi betisnya sudah berada di dekatnya dan menatap dengan tatapan, 'Lu siapa?'

***

Bobby & BobbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang