Prolog

12 1 0
                                    

      "Pa mangsud?" Satu pertanyaan terlontar dengan ekspresi datar seakan jengah pada rumitnya dunia.

Gadis bersurai pixie cut itu menatap pak tua di hadapannya penuh kejengahan. Padahal sudah dari jauh-jauh hari ia membayar uang DP untuk kontrak di kost dekat polsek jalan Kenanga, namun gilanya hari ini saat ia memutuskan untuk survei lokasi kedua kalinya, pemilik kost dengan tidak tahu diri mengatakan jika kost ini telah diambil alih oleh orang lain.

"Maaf beribu maaf ya neng, tapi kemaren ada cowok yang bayar tunai. Bahkan udah sampai tiga bulan ke depan." Pak tua tersenyum kikuk. Tangannya menyodorkan amplop berisi uang DP yang pernah Graysa berikan padanya, berniat mengembalikan uang tersebut pada pemiliknya.

Tidak bisa.

Graysa sudah mengidamkan kost dekat tempat PKLnya, di rumah produksi. Satu-satunya kost yang ada dan sangat dekat dengan rumah produksi ya kost ini dan sudah ia booking sejak bulan lalu. Jika ia memilih menyerah dan mencari kost lain, tidak bisa terjamin apakah akan ada kamar kosong atau akan mendapat kost yang murah. Kalau mau bayar tuntaspun Graysa jelas tidak mampu.

Keheningan melingkupi dua insan di tempat duduk bawah pohon mangga sana. Keduanya saling tatap dengan arti berbeda. "Saya mau telfon penghuni kost baru, pak."

"Anu, buat ap—"

"Saya harus diskusikan dengan dia. Apapun itu, kan saya duluan yang booking kost ini. Mau dia anak presidenpun bakal saya hantam habis-habiskan kalo dia nggak mau ngalah. Di sini saya yang rugi."  Graysa memotong dengan penjelasan menggebu-gebu. Ia meniup anak rambutnya sendiri penuh kesal.

Sumpah. Kenapa kemalangan selalu datang ketika Graysa telah yakin pada sesuatu?

Bisa Graysa lihat, pak tua tampak ayal memberikan nomor penghuni kost baru. Cih. Itu pasti karena uang yang sudah si penghuni baru itu berikan. Graysa tahu pasti sulit mengikhlaskan uang sebanyak itu, tapi pak tua harus bisa menepati janji dong! Dulu saat pertama kali survei, jelas pak tua meyakinkan Graysa untuk tenang saja, katanya ia akan menunggu kekurangannya sampai Graysa sudah menempati kost ini nanti.

"Ck." Hanya satu decakan sebal, Graysa tak mengira itu bisa membuat pak tua merasa inferior. Pria itu langsung menyodorkan handphone nya pada Graysa, menampilkan nomor seseorang di layar sana.

Tanpa pikir panjang, Graysa dengan cepat mengetik nomor nomor di handpone pak tua ke handphone nya. Gadis itu dengan cepat mengklik logo hijau di sana, kemudian menunggu sambungan seluler.

Pip...

Sayangnya, panggilan tadi ditolak dengan cepat. Graysa mengernyit heran sebelum kembali menelfon seseorang di sana.

Pip...

Lagi. Graysa memjamkan matanya kesal. Ia terus terusan menghujam orang asing itu dengan telfon sampai panggilan ke sepuluh baru terangkat.

Fyuhhh, menguras kesabaran jiwa dan raganya saja.

"Halo! Ini siapa ya? Ganggu banget, gue lagi sibuk bangsat."

Graysa sedikit kaget mendengar suara dari sana. Namun dengan segera ia menyahut ramah. Ia cukup paham. Jika ialah yang diposisi pemuda di sana, bisa dipastikan kata-kata lebih haram akan terlontar bertubi-tubi saking emosinya.

"Maaf mas, selamat siang." Graysa menekan speaker. Membiarkan pak tua ikut mendengarkan perbincangan mereka.

"Ya, siang. Kenapa?! To the point."

"Saya Graysaka Adiyasya, orang yang sudah booking kost di jalan Kenanga dari sebulan lalu."

Suara bising rerdengar dari seberang. "Ya, terus kenapa? Gue bilang 'kan to the point! Bertele-tele sekali lagi gue matiin nih telfon. Babi."

Wahh kurang ajar. "Woy jancok! Yaudah ini gue to the point ya bangsat!" Graysa melirik pak tua yang tampak shock berat oleh perkataan Graysa barusan. "Lo kenapa asal tundung perjanjian gue sama pak tua ini ha bajingan?! Gue jelas lebih dulu booking kost dari elo yang bermodalkan duit bau kencing tikus lo itu! Fuck kata gue teh."

Jeda beberapa menit membuat emosi Graysa sedikit mereda. Namun tak berselang lama, suara dari seberang kembali menyulut api marah Graysa semakin membara, berkobar bagai letupan gunung merapi.

"Jhahaha gue punya duit, gue punya kuasa." Pemuda di sana mendecih sok superior. "Kostnya udah gue huni. Lo, kalo mau ngekost ya sana cari kost lain, miskin."

"Kon— ughh... BESOK GUE TUNGGU LO DI KOST. KALO SAMPE JAM TIGA SORE NGGAK MUNCUL, GUE ANGGEP KONTRAK LO SAMA PAK TUA DI CANCLE. GUE JADI PENGHUNI KOST INI, BAJINGAN!"

Netra Graysa yang masih berkobar amarah seketika melembut kala menatap Pak Tua. "Pak, gimanapun, saya duluan. Perjanjian bapak dengan saya jelas lebih dulu tertulis. Tolong tanggung jawabnya sebagai pemilik kost. Kalo emang bapak berbisnis, harusnya tau mana yang berhak dan enggak."

Graysa mengibas rambutnya mendramatis. "Saya pamit. Terimakasih waktunya."















–prolog end–

GLAUSA SUKROSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang