Tiga Puluh

942 75 4
                                    

"Dokter, berapa lama sisa waktu hidup saya?"

Hujan. Hujan pertama di musim semi. Seorang pasien memandang ke luar jendela, tubuhnya yang hari ini begitu lemas membuatnya nyaris tidak kuat untuk bangun dari baringnya. Sebuah nasal kanul sudah berada di hidungnya untuk membantu pasokan oksigen pernapasannya.

Sudah beberapa hari berlalu sejak Minho melompat keluar dari jendela kamarnya. Jendela kamar barunya itu begitu kecil dan tinggi di atas tembok, membuat pasien itu tak akan bisa melompat keluar melaluinya. Minho meringkuk di balik selimutnya, ia tidak suka mendengar suara hujan yang begitu keras jatuh ke tanah.

"Kenapa kamu bertanya seperti itu, Minho?" Dokter baru yang menggantikan dokter Seungmin itu kini tersenyum sambil mengganti bidai sang pasien.

"Bisakah aku... pergi lebih cepat?"

"Kenapa kamu ingin pergi lebih cepat? Padahal aku dengar dari dokter Seungmin, kalau dulu kamu mati-matian mencoba untuk sembuh."

Minho tak menjawab lagi, ia memiringkan badannya menolak untuk diajak bicara dan menarik selimutnya, takut jika terlalu banyak bicara dan salah bicara maka ia akan difitnah macam-macam lagi. Minho sudah tidak percaya dengan siapapun lagi, termasuk dokter dan dirinya sendiri.

Dokter itu masih duduk di sampingnya, beberapa kali membolak balik halaman kertas yang dibawanya. Sementara Minho kembali meringkuk dan menenggelamkan dirinya di dalam belenggu pikirannya.

"Iho, iho naa ibit ibit!"

Berkali-kali salah satu tangan Minho yang tidak dibidai mencoba untuk menutupi telinganya sendiri setiap kali mendengar suara tawa adiknya. Berkali-kali Minho sengaja membuka lebar kedua matanya dan tetap tidak mau membuka telinganya meski disuruh, karena jika tidak, maka semua kenangan itu akan berputar lebih jelas dan menyiksanya terlebih saat ia menutup mata.

Kalau dulu aku mati duluan, kalau dulu aku pasrah saja dan tidak usah susah payah mencari uang pengobatan di sana-sini...

Jeongin sekarang pasti masih hidup kan?

Padahal awalnya aku hanya ingin pelukan dan ingin bisa bersandar pada bahu seseorang. Tepatnya sejak kapan... semuanya mulai berantakan?

Dan tiada henti, tak sedetik pun lewat tanpa Minho menyalahkan dirinya atas semua keputusan yang telah ia ambil.

"Hey, love. Are you asleep yet?"

Satu suara yang tak diundang tiba-tiba terlintas di tengah bayang tawa ceria adiknya. Suara Chan yang berat dan hangat membawa bayangan orang itu yang sedang memeluknya di kamar sambil mengelus rambutnya, sementara Jeongin berada di antara mereka berdua. Minho sontak membuka selimutnya, napasnya terengah-engah kala tamu tak diundang itu muncul di kepalanya.

Dokter tadi sudah pergi, menyisakan Minho sendirian dengan segala sepi dan siksa yang semesta berikan. Meskipun Minho terus mengutuki hari di mana ia bertemu Chan dan berharap tidak pernah bertemu dengannya, Minho tak bisa bohong kalau ia ingin kembali ke hari-hari awal yang sederhana itu.

Hari-hari di mana Minho masih bisa berjalan dan melihat dengan jelas, hari-hari di mana tawa Jeongin masih begitu riang terdengar, hari-hari di mana semuanya belum berantakan. Ia rindu pagi hari di apartemen Chan saat Minho bangun dan mendapati pria itu sedang membantu menyuapi Jeongin di meja makan, ataupun saat malam hari jemari orang itu menyusuri surai rambutnya dan terus meminta maaf setelah memukulinya, ketika cumbunya belai lembut setiap memar yang dilukisnya.

Bodoh. Minho mencoba menyingkirkan satu ingatan itu, tapi justru membuat air mata mengalir di wajahnya. Ia rindu hari-hari Jeongin yang tertawa bersama Chan, sebelum semuanya jadi benar-benar berantakan.

Dandelions ✔️ [Banginho]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang