Dua Puluh Tiga

887 69 2
                                    

"Kamu benar-benar akan membunuh Chan?"

Dari dalam sebuah mobil, asap rokok mengepul keluar dari celah jendela yang sedikit terbuka. Batang tembakau itu menyelip di antara dua jarinya, tatapan dinginnya memandang keluar jendela.

Satu hari telah berlalu, sejak Minho bertemu Chan setelah dua bulan lamanya.

"Bukannya ini yang kamu mau, Sana?" Juyeon tertawa seraya mematikan rokoknya. Rambut panjang wanita cantik itu disentuhnya, "Kamu yang minta kan?"

Sana menghela napas panjang, "Ya... Aku memang mau cerai dengannya, tapi membayangkan dia cerai dan tetap hidup damai, apalagi sebagai CEO perusahaan, rasanya aku tidak terima. Gara-gara Chan, gara-gara orang itu..."

Ucapannya terhenti di tenggorokannya, Sana nyaris menangis. Dia akhirnya hanya menunduk, berusaha keras tidak mengingat segala kejadian menyakitkan yang menimpanya di masa lalu.

"I know." Juyeon menyugar rambut panjang wanita itu, ada bekas luka yang cukup dalam dan tidak bisa hilang di balik rambut cantiknya. "Ingat waktu kita dulu pertama ketemu? Sejak saat itu, aku sudah berkomitmen untuk jagain kamu."

"Ya... Aku ingat." Senyum terukir di wajah Sana kala memori yang satu itu berputar.




flashback on.

Hari itu.

Kira-kira satu tahun yang lalu, sebelum kematian Felix.

Hari itu, hari peringatan kematian bunda Juyeon. Ketika Juyeon kabur dari sebuah gala dinner penting perusahaan, ketika seluruh dunia sibuk tak memedulikan seseorang yang sedang dirundung duka dalam diam, dan ketika Juyeon memilih duduk merokok sendirian di tangga darurat Hotel Le Grande Auberon.

"Bunda?" Hari itu, Juyeon kaget setengah mati melihat sosok ibunya tergeletak tak sadarkan diri dan bersimbah darah di bawah tangga darurat sebuah hotel.

Tapi itu bukan ibunya, itu hanyalah wanita muda yang mirip dengan bunda kesayangannya. Seperti deja vu, Juyeon seperti dibawa ke 21 tahun yang lalu.

"H-hei, hei bangun. Nona, kamu baik-baik saja? Hei, bangun!" Juyeon berusaha membangunkan wanita itu, dan samar-samar dari kejauhan terdengar suara teriakan keras seorang pria.

"Woi! Sana! Sini kamu!"

Juyeon tidak tahu apa yang terjadi, tapi perasaannya tidak enak. Dan wanita yang tak dikenalnya itu, sangat mengingatkannya pada Bunda. Hari itu ia langsung buru-buru menggendong wanita itu dan membawanya kabur ke rumah sakit, darah tak henti-hentinya mengalir keluar dari kepala wanita cantik itu. Dress putih wanita itu sudah berubah menjadi warna merah darah.

Hari itu, Sana nyaris meninggal karena dipukuli Chan, suaminya sendiri.

flashback off.




"Aku ingat." Sana menertawakan dirinya sendiri, membuyarkan lamunan keduanya. "Hari itu, satu tahun yang lalu kepalaku bocor karena dipukul Chan yang benar-benar tidak bisa mengontrol emosinya... Dia marah nuduh aku yang bikin Felix sakit."

Juyeon mencium tangannya, "Felix jatuh sakit karena Chan sendiri yang terlalu fokus bekerja dan juga maksa kamu untuk nyelesaiin semua deadline. Semua itu salah Chan, bukan salahmu."

"Bagiku setiap hari di rumah dengan bajingan itu seperti neraka." Air mata sudah menggenang di pelupuk mata cantik wanita itu. "Karena dia juga... Felix mati."

Kepala Sana yang tahun lalu retak karena dipukul Chan dengan tongkat besi itu terasa sakit lagi. Sana tertawa kecil, tapi air mata akhirnya membasahi kedua pipinya.
"Andaikan dulu aku dengerin kamu Juy. Mungkin kalau aku nurut kata-katamu untuk cerai sejak dulu, Felix nggak perlu dipaksa Chan untuk ikut survey gedung di dekat danau itu... dan dia nggak akan mati."

Dandelions ✔️ [Banginho]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang