Tiga Puluh Tiga

1.1K 80 3
                                    

Waktu hidup Minho tidak lama lagi.

Kankernya sudah benar-benar bertambah parah dan berada di tahap akhir, hingga Minho sudah tidak bisa pergi terlalu jauh dari kasur tempatnya berbaring, terlebih lagi bepergian dengan mobil ataupun pesawat.

Dan Chan,

Chan tidak baik-baik saja. Terutama dengan fakta bahwa Minho mulai perlahan kehilangan ingatannya, dan melupakan dirinya. Ia tadi terlalu syok hingga langsung meninggalkan Minho dan menemui dokter.

"Dok, apa dia benar-benar... tidak bisa mengingat apapun lagi?" Chan pun sudah tiga kali masuk ke ruang dokter, menanyakan hal yang sama.

"Belum hilang sepenuhnya, tapi ini bersifat progresif. Ada kalanya Minho bisa mengingat, ada kalanya ingatannya berjalan mundur."

"Mundur? Apa maksudnya? Apa saya nggak bisa membawa Minho pergi berobat ke Amerika? Saya akan membawanya ke Amerika. Siapa tahu ia bisa sembuh."

"Sekarang sudah sangat terlambat untuk itu. Kankernya sudah benar-benar parah di stadium akhir, dia tidak bisa sembuh."

"Apa... apa maksudnya... sekarang sudah... terlambat?"

Dokter itu hanya diam dan tersenyum, "Anda sepertinya orang yang penting bagi Minho. Anda mau membuat Minho bahagia di akhir hidupnya kan?"

Klang.

Suara sendok yang terjatuh membuyarkan lamunan Chan dan membuat langkahnya terhenti di depan pintu kamar Minho. Ia berdiri diam di ambang pintu, menatap ke lelaki manis yang sedang duduk di atas kursi roda, di tengah kamar yang agak gelap dan hanya diberi pencahayaan sinar matahari dari luar.

"Dik Minho, kamu harus makan." Seorang perawat yang berusaha menyuapinya dengan bubur kaget melihat Minho melempar sendoknya. "Dik Minho, kalau kamu nggak makan nanti nggak bisa minum obat."

Tapi Minho tetap menolak, ia justru memalingkan wajahnya ke arah jendela besar kamarnya yang langsung bersebelahan dengan taman. Entah sudah berapa lama Minho seperti ini.

"Ayah dan Ibu... di mana?" tanya Minho lirih. "Jeongin... adikku baru lahir minggu lalu. Dia nggak apa-apa?"

Demi kebaikan Minho, perawat itu pun harus berbohong. "Iya. Ayah dan ibumu lagi di Seoul, dan adikmu baik-baik saja. Jadi makan dulu ya?"

Chan masih bersandar di pintu, rasa bersalah berkecamuk dalam dirinya. Ia baru saja ingin melangkah masuk, tapi lagi-lagi langkahnya terhenti begitu mengingat semua yang telah terjadi. Ia sendiri masih berduka karena kepergian istrinya, dan masih hancur karena kepergian Felix dan Jeongin. Dan tidak ada yang bisa menghapus penyesalannya karena telah menyiksa Minho begitu rupa.

Chan tidak sanggup, ia merasa tidak layak bertemu dengan Minho. Haruskah ia bersyukur Minho tidak bisa mengingatnya?

"Kalau nggak mau makan, nanti kamu harus makan pakai selang dari hidung kayak waktu itu. Kamu nggak suka kan?" Perawat wanita itu masih berusaha membujuknya, tapi Minho benar-benar tidak mau makan padahal kesehatannya sangat memburuk.

"Ayah dan Ibu di mana..." Minho terus menerus mengulangi kalimat yang sama. "Ayah Ibu... di mana... Jeongin di mana... mataku... sejak kapan begini? Kenapa burem... gelap..."

Chan menunduk sesaat, berdebat dengan pikirannya sendiri, sebelum akhirnya memutuskan untuk melangkah masuk. Bahu perawat itu ditepuknya, mengaku kalau ia temannya, dan tangannya memberi gestur bahwa ia akan mencoba menangani ini.

Chan pun berjongkok di hadapan kursi roda Minho, menatap wajah manis yang tadi baru saja menatapnya ketakutan di taman karena tidak mengenalnya.

"Hei, Minho." Paha Minho ditepuknya, membuat sang empu menoleh karena merasakan ada kehadiran orang yang berbeda. "Kamu ingat aku?"

Dandelions ✔️ [Banginho]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang