Kenapa malam ini terasa lebih dingin dari malam-malam sebelumnya?
Aku berdiri, menutup jendela dan kembali ke ranjangku yang sudah basah karena keringatku sendiri.
Kulirik kalender yang tertempel di dinding kamar. Ibuku yang memasangnya sejak kepindahanku ke tempat ini.
Hari ketiga di bulan Juli, musim panas tahun ini. Sekarang, aku sudah menjadi mahasiswa di salah satu universitas di Tokyo.
Awalnya, kupikir semua akan terasa mudah jika aku melarikan diri. Namun, kenyataan berkata sebaliknya. Aku bahkan tidak bisa memejamkan mataku setiap terbangun dini hari seperti ini.
Seperti kutukan, rasa bersalah tak kunjung pergi meninggalkanku sendirian yang tengah berusaha mencari kedamaian.
"Apa kau akan terus bersamaku jika aku setuju untuk melakukan aborsi?"
Pertanyaan lirih penuh luka itu masih terngiang di gendang telingaku. Suaranya berputar-putar seperti kaset rusak di kepalaku.
Begitupun dengan janjiku saat itu.
"Mm. Aku janji kita akan selalu bersama setelah ini."
Namun, bukannya menepati janji, lagi-lagi aku mengkhianati kepercayaannya. Aku pergi begitu ia kubaringkan di ranjang kecilnya beberapa jam setelah operasi ilegal yang kami lakukan. Aku bahkan tidak tahu lagi bagaimana keadaannya saat ini.
Meski kupenuhi semua bahan makanan di dalam rumahnya, kusediakan obat untuknya, apa ia bisa mengambil semua dengan keadaan lemah seperti itu?
Hal yang selalu menghantui benakku adalah ... apa ia hidup dengan baik saat ini?
Karena malam itu, bahkan saat hari kelulusan belum tiba, aku sudah memutuskan untuk langsung terbang ke Jepang. Aku melarikan diri ke tempat ini, tempat yang jauh dari semua masalah yang terjadi karena kebodohanku sendiri.
Apa ia baik-baik saja?
Apa ia masih mencari dan mencoba menghubungiku?
Kuharap dia memaafkanku. Melupakan semua kesalahanku dan segala yang pernah terjadi di antara kita berdua.
Jaehanie, maaf ...
Bersamaan dengan kata itu, aku memejamkan mata dan pada akhirnya, kegelapan menguasaiku juga.
"Yechan-ah, apa kau mencintaiku?"
Aku menoleh ke sana kemari sebelum kudapati aku berada di tempat asing. Aku tak mengenal tempat ini. Namun, suara itu ... suara yang tak mungkin bisa kulupakan begitu saja.
"Jaehanie?"
Aku mulai mencari-cari asal suara yang sejak tadi menyebut namaku, memanggil penuh rasa rindu.
"Yechan-ah, aku ... merindukanmu."
Aku berdiri, tertatih kulewati tempat penuh semak berduri itu. Mencari Jaehan yang kuyakini berada di sini.
"Jaehanie, gwenchana? Kau di mana?"
Lalu, suara isakan terdengar. Aku semakin kalut, kulangkahkan kakiku lebih cepat dari sebelumnya. Aku harus menemukannya.
"Jaehanie!"
"Yechan-ah, kenapa kau meninggalkanku?"
Aku terpaku. Tubuhku mendadak kaku dan entah bagaimana caranya, aku mulai menyadari bahwa ini semua hanyalah mimpi. Suara yang tadi lembut kini berubah menjadi teriakan pilu yang terus menerus memanggil namaku. Bertanya mengapa aku pergi, mengapa aku tak juga kembali.