Apa menurutnya perasaanku hanya candaan?
Atau ketulusanku hanya dia anggap sebagai selingan kala bosan?
Apa pernyataan dan usaha saja tidak cukup membuatnya yakin untuk memilih jalan yang sama denganku berwujud komitmen serius?Jangan-jangan ... selama ini dia menertawakan pernyataanku bahwa aku mencintainya. Apa mungkin dia menganggapku remeh karena dia tahu, aku tak akan mudah melepaskan orang yang telah membuatku sejatuh cinta ini.
Kami telah bersahabat selama 8 tahunan. Jelas dia tahu bagaimana diriku ketika sudah menjatuhkan hati kepada seorang laki-laki. Dia adalah salah satu saksi lika-liku cerita percintaanku yang kini telah kandas. Jelas sekali dia memang sengaja mempermainkanku.
Kira-kira ... pikiran seperti inilah yang terlintas di benakku ketika mengingat status hubungan kami yang sekarang tidak jelas arahnya. Aku mencintai dia. Dia pun sama. Tapi dia tak kunjung memberikan jawaban dengan dalih takut salah mengambil keputusan.
Mulanya, aku memakluminya. Aku berusaha memahami karena ini pertama kali baginya serius kepada seorang perempuan. Tapi kemudian, kurasa dia terlalu menganggap enteng perasaanku. Kurasa ... dia mengulur waktu hanya untuk menyiksaku.
Rasanya ... seperti orang yang berkunjung ke sebuah toko pakaian, lalu ia menyukai sebuah pakaian, tetapi ketika melihat harganya yang mahal, ia memutuskan tak membelinya. Ia hanya selalu datang ke toko itu dan melihat baju kesukaannya dengan senyum bahagia. Tidak ada keinginan untuk memiliki, mempertimbangkan uang segitu bisa ia gunakan untuk makan sebulan.
Lantas, menurutmu bagaimana perasaan sang pemilik toko yang melihat pelanggan itu?
Suatu malam, aku kembali menanyakan keputusannya. Anggaplah aku bodoh, sebab masih sanggup menanyakan perasaannya disaat hatiku berkali-kali dipatahkan oleh kebimbangannya. Anggaplah aku dungu, sebab meski diberi jawaban tak pasti, aku tak lelah untuk mengejar kepastian darinya.
"Jadi gimana?" tanyaku melalui telepon. Malam-malam aku telepon untuk membahas rencana berlibur kami. Tapi kemudian aku teringat untuk kembali mengulik pertanyaan yang telah kukubur beberapa bulan belakangan ini.
"Apanya?"
"Ya kita," jawabku dengan nada putus asa.
"Kita kenapa?" Suaranya yang rendah, membuat hatiku terasa semakin sesak.
"Aku nggak tau kita ini apa. Apa bedanya kita dengan sebelum kita mengungkapkan perasaan masing-masing? Apakah hubungan tanpa status (HTS) kayak gini merupakan sebuah peningkatan dari yang sebelumnya adalah friendzone."
Dia diam. Selama jeda aku berbicara, dia tak mengeluarkan kalimat sanggahan apa pun. Hanya napas beratnyalah yang bisa kudengarkan melalui ponsel.
"Apa perasaanku cuma candaan buatmu? Apa ketulusanku nggak cukup buat bikin kamu yakin sama aku? Sebenarnya dimana letak salahnya?" tanyaku pilu.
Dia belum mau menjawab dan masih setia dengan keterdiamannya. Di telepon, memang aku yang lebih banyak berbicara dibandingkan dia.
"Pernah nggak sih, kamu ngebayangin gimana kalo nanti kita hidup bareng?" tanyaku padanya untuk ke sekian kalinya.
Kali ini dia menjawab, "Pernah."
"Gimana? Apa yang kamu bayangin?"
"Aku ngebayangin gimana kita bisa ngobrolin banyak hal dan menghadapi apa pun bersama-sama. Aku pasti bahagia kalau orang itu kamu."
Saat itu, aku dengan bodohnya kembali tersipu ketita mendengar jawabannya. Namun, ketika kupikir kembali, kurasa jawaban itu adalah jawaban aman yang berfungsi sebagai pengalih semata.
"Terus, kenapa kamu nggak yakin? Apa yang bikin kamu nggak yakin?"
"Ini bukan soal kamu. Tapi ... soal diriku sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Goodbye
FanficPerpisahan bukanlah akhir dari segalanya. One Shoot Story.