Part 3

1.9K 149 2
                                    

Ready di karya karsa, yang per part atau Full version. Harga PDF 55rb, di karya karsa 58rb.

Happy reading 🥰

Revan mengumpat karena ia sudah lelah mengobrak-abrik kamar Zafran, tapi belum juga menemukan kamera miliknya. Sebenarnya dimana anak itu menyembunyikan kameranya. Ia benar-benar menyesal meminjamkan barang penting pada kedua keponakannya itu.

Setelah lelah mencari, Revan memutuskan menghubungi Friska yang katanya hari ini makan malam dengan keluarga suaminya. Tidak apa-apa sedikit mengganggu, salah kedua anak kakaknya itu yang kerap mengganggu pekerjaannya.

Revan duduk di kursi ruang tamu. Pelayan di rumah Friska menyuguhkan segelas kopi untuknya. Ia merogoh ponselnya dan mencari-cari nomer kakaknya. Setelah dapat, Revan memecat tombol hijau dan panggilan itu langsung tersambung. Tidak menunggu waktu lama, kakaknya segera mengangkat panggilannya.

"Hallo Van, ada apa?" Tanya Friska dari seberang sana.

"Kameranya nggak ketemu." Jawab Revan ketus, Friska terdengar menghembuskan napas berat.

"Di kamar Zafran katanya. Di laci nakas sebelah kanan."

"Aku sudah membolak-balikkan kamar anak itu hingga tak berbentuk. Nyatanya tetap tidak ketemu."

"Apa warnanya silver dan bentuknya kecil. Jangan-jangan kebawa Zelin kemari."

"Kenapa sampai dibawa Zelin sih. Aduuuh."

"Maaf, kakak tidak tahu itu barang penting. Kakak pikir mainan barunya Zelin. Bentuknya tidak seperti barang penting."

"Terus sekarang gimana kak? Jam berapa kakak pulang? Aku harus segera mengerjakan proyek itu."

"Kakak malam ini menginap di rumah orang tua Rafael."

"Apa!!! Kakak bercanda kan?"

"Nggak Van. Kakak serius. Makanya kakak bingung sekarang. Gimana kalau kamu nyuruh sopir kamu ambil  kemari sekarang, pumpung belum malam."

"Kak, aku nggak bawa sopir. Dan aaaaah, kok bisa kebawa sih."

"Mungkin Zelin kira itu barang nggak penting. Anak itu kerap masuk kamar kakaknya tanpa ijin."

"Ya udah, aku ambil ke sana aja. Kakak siapkan kameranya karena aku nggak bisa lama-lama."

"Oke. Kakak tunggu."

Revan meminum kopinya, kemudian beranjak menuju rumah mertua kakaknya. Tidak jauh juga, tapi Revan malas sekali bertemu dengan suami kakaknya itu. Meskipun sudah sepuluh tahun lamanya, tapi penghinaan Rafael pada Friska saat itu, masih membekas di benak Revan.

Lima belas menit berkendara, ia tiba juga di rumah orang tua Rafael. Dokter Salman dan istrinya juga tinggal di rumah ini. Revan masih segan jika bertemu pria itu. Karena selama sepuluh tahun ini, pria itu tidak menyapanya sama sekali jika tidak sengaja bertemu. Pria itu tampak menaruh dendam padanya, namun memilih diam saja.

Mungkin dokter Salman tahu hubungannya dengan Syafa. Tapi, selama sepuluh tahun ini Syafa memang tidak terlihat. Gadis itu meneruskan pendidikannya di London dan jarang sekali pulang. Sesekali tanpa diketahui siapapun, Revan pergi ke London untuk melihat Syafa dari kejauhan, memastikan wanita itu baik-baik saja.

Terkadang Revan merasa dirinya gila karena melakukan hal yang tidak penting. Namun tidak bisa ia pungkiri, rasa bersalahnya pada Syafa terlalu besar hingga ia tidak memikirkan menikah hingga sekarang. Sempat terpikir mungkin kutukan Syafa saat itu menjadi kenyataan, namun Revan buru-buru menepis pikiran itu karena merasa itu konyol.

Revan menghentikan lamunannya dan keluar dari mobil. Ia berjalan menuju halaman rumah orang tua Rafael setelah pintu pagar dibuka oleh Pak satpam. Revan mengetuk pintu dan pelayan langsung membukakannya. Ia dipersilahkan duduk di ruang tamu, menunggu pelayan memanggilkan kakaknya.

Lima menit kemudian, Friska tiba dengan wajah sumringah. Kakaknya itu duduk di sebelahnya tanpa rasa bersalah sama sekali. Revan kesal sendiri melihatnya.

"Mana kameranya?" Tanya Revan ketus, Friska tergelak seketika.

"Sedang di ambilkan Zafran. Tapi, sepertinya kau harus lebih lama di sini."

"Memangnya ada apa? Kau perlu sesuatu, aku terburu-buru kak." Revan frustasi, kesal dengan Friska yang suka mengulur-ulur waktu.

"Sayangnya mertuaku mengundangmu ikut makan malam bersama kami. Bukankah tidak sopan jika kau menolak?"

"Kak, aku harus segera pulang."

"Kakak mohon sekali ini saja. Kakak malu jika menolak. Tidak sopan Van."

Revan menghembuskan napas berat, menetralisir rasa kesal yang membuncah di dadanya. Mau tidak mau, ia mengangguk karena tidak tega pada kakaknya. Meskipun ia sangat malas bertemu Rafael dan enggan bertemu dokter Salman yang selalu ketus padanya.

"Ayo, mereka semua sudah menunggu."

Revan beranjak, menyusul Friska menuju ruang makan keluarga Hartono. Dengan langkah lunglai dan malas, Revan berjalan mengikuti Friska, hingga kemudian dirinya tiba di ruang makan keluarga Hartono.

Di sana, tampak semua anggota keluarga berkumpul. Dan yang membuat jantung Revan nyaris terjun ke perut, adalah kehadiran sosok yang sudah tidak asing baginya. Sosok yang sudah bertahun-tahun tidak ia lihat. Sosok itu terlihat duduk di kursi bersama papanya, seperti enggan menatapnya.

Sialan. Kenapa tadi Friska tidak bilang jika Syafa pulang malam ini. Tahu begini, ia tidak mau menerima undangan makan malam ini.

"Waaaah, Revan, lama Om tidak bertemu. Bergabunglah dengan kami. Kebetulan malam ini kami semua menyambut kepulangan Syafa ke Indonesia. Jadi kami masak banyak." Rudi tampak sumringah menatapnya.

Revan tersenyum, kemudian bergabung duduk dengan mereka semua. Rudi dan istrinya berbasa-basi menanyakan kabar papanya, juga Erika yang menanyakan bagaimana kameranya bisa terbawa oleh kedua keponakannya. Mereka semua menyambutnya dengan baik seperti biasanya, kecuali dokter Salman dan Syafa. Kedua orang itu bahkan tidak berbasa-basi sama sekali, Syafa bahkan berlagak tidak mengenalinya.

Selama bertahun-tahun, memang tidak ada yang mengetahui ia pernah menjalin hubungan dengan Syafa. Dan Revan juga tidak berniat memberi tahu masa lalu mereka bahwa Syafa dulu pernah mengejarnya. Itu hanya masa lalu kekenakan yang tidak perlu diingat. Meskipun tidak bisa ia pungkiri, ia kerap merindukan wanita itu mengejarnya seperti dulu.

Revan segera menepis semua pikiran tidak pentingnya itu. Ia ikut makan malam sambil sesekali berbincang dengan Rudi dan Erika. Rafael sesekali membuka percakapan dengannya, dan meskipun malas menjawab, Revan berusaha menghargai i'tikad baik pria itu agar permusuhan mereka mereda. Sebenarnya Rafael tidak pernah memusuhinya, Revan saja yang masih sakit hati.

"Om, ini kameranya ketemu. Tadi mungkin habis di pakai sama Zelin." Zafran muncul dengan muka kesal. Mungkin karena kesusahan mencari kameranya. Adiknya itu memang usil dan kerap memakai barang-barangnya tanpa izin.

"Nggak rusak kan?" Tanya Revan sambil mengamati kameranya. Pasalnya, kedua anak kakaknya itu sering sekali merusak barang-barang miliknya.

"Kayaknya nggak, Om. Mungkin baru di pakai jeprat-jepret nggak jelas. Zelin kan emang gitu hobinya."

"Lo, kok kakak nyalahin aku terus sih. Aku kan nggak tahu kamera itu punyanya Om. Aku pikir itu punya kakak."

"Kalau punya kakak terus bebas kamu rusakin gitu?"

"Udah udah, nggak usah berantem. Zafran duduk. Kita makan lagi." Friska menengahi, malas mendengar perdebatan kedua anaknya yang terjadi hampir setiap hari.

Mereka kemudian kembali makan dengan perbicangan yang cukup hangat. Tidak ada yang memperhatikan wajah Syafa dan dokter Salman yang sedari tadi kurang ramah. Mungkin karena kerap seperti itu, jadi tidak ada yang heran.

Zafran dan Ega terdengar sesekali berdebat, Zelin rewel, dan Rafael sesekali berseteru tidak penting dengan Erika. Suasana hangat itu sangat kontras dengan wajah Syafa yang menegang.

"Om, kok sedari tadi diem aja, nggak nyapa kak Syafa sama sekali." Celetukan Zafran sontak membuat semua orang terdiam. Anak itu hanya terbengong bingung saat semua orang menatapnya. Dan di detik selanjutnya, Zafran menutup mulutnya dengan tangan saat merasa omongannya tadi keceplosan.

A Frozen Flower (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang