CASE 20# ACROSS THE LINE

112 10 9
                                    

"Jangan tersinggung jika dianggap dan dikatakan bodoh. Mereka yang menganggapmu seperti itu akan jauh lebih terlihat bodoh jika kau berhasil menunjukkan siapa dirimu yang sebenarnya."

-Arcblood Phoenicis-

🚔🚔🚔

Apa aku memang terlalu terburu-buru dalam mengambil langkah dengan memberitahu Aoyama-san perihal semua bukti-bukti itu? Aoyama-san sendiri yang jelas mengatakan jika dia terlibat atau mungkin itu hanya jawaban palsu untuk meyakinkanku sehingga dia bisa menggali informasi dariku dan berbuat sesuatu yang tidak kutahu?

Sialan! Memikirkannya saja membuat kepalaku nyaris meledak. Aku dan Hokuto lagi-lagi bertengkar di saat yang tidak tepat. Lagipula anak itu jadi jauh lebih menyebalkan sekarang. Dia tidak pernah mengizinkan siapapun mengusiknya jika sudah serius. Tingkah Hokuto juga semakin membuatku terus merasa jengkel setiap kali dia selesai bertemu dan mengobrol dengan para inspektur. Aku tahu otaknya lebih pintar dan maju dariku, tapi bukan berarti aku tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya bisa menonton. Tidak bisakah dia percaya padaku sekali atau minimal sedikit saja? 

Aku mengusap wajah kasar lalu pergi menuju lapangan akademi. Berlari dua sampai tiga putaran mungkin lebih baik daripada terus memanggang otak di dalam kamar. Setidaknya masih ada waktu sebelum pelajaran selanjutnya dimulai. Mengenai Hokuto, aku sudah tidak peduli. Dia sendiri yang memulai perang dingin ini, dan aku menerima dengan senang hati. Cih, akan kutunjukkan padanya jika siswa paling bodoh dan ceroboh ini juga bisa berguna.

Lapangan masih terlihat sepi saat aku memasuki putaran ke dua, hanya ada beberapa siswa yang sedang membersihkan halaman dan rerumputan yang sudah memanjang. Mungkin hukuman yang didapatkan karena melanggar aturan. Sisanya, tidak ada orang lain lagi.

Napasku mulai terasa berat memasuki putaran ketiga. Meski tidak ada waktu seperti latihan saat itu, tetap saja sama melelahkannya. Aku baru berhenti tepat setelah putaran keempat. Tubuhku ambruk di tanah dengan kaki yang diselonjorkan. Tubuhku berkeringat, tapi setidaknya perasaanku menjadi lebih baik. 

Langit mulai memancarkan bias kemerahan berpadu oranye seperti warna jeruk. Angin turut mendukung hadir mengibaskan rambutku yang basah oleh keringat. Aku hendak berbaring, sampai sesuatu malah menghantam bagian belakang kepalaku cukup kencang. 

"ITTAI!"

"Bajumu akan kotor dan penuh dengan debu. Apalagi saat berkeringat seperti itu."

Kepalaku tertoleh pada satu inspektur yang kini jongkok di belakangku dengan sebotol air mineral dingin di tangannya. Dia tersenyum tipis setelah meletakkannya di depanku lalu duduk begitu saja. 

"Apa yang Anda lakukan di sini, Aoyama-san?" tanyaku tidak jadi berbaring. 

"Apa aku harus melapor padamu jika ingin berpatroli di akademi, hah?" jawabnya sambil melihat beberapa siswa akademi yang beralih membersihkan pinggiran lapangan. 

Aku mengangkat kedua bahu kemudian mengangkat botol mineral dingin yang tadi diletakkan. "Apa ini untuk saya?" 

"Bukan. Untuk para siswa itu."

Alisku terangkat. Sejak kapan inspektur satu ini peduli pada siswanya? Yang dia tahu selama ini hanya marah, mengomel, mencibir, dan menghukum siapapun yang melanggar aturan, bukan? 

"Kalau kau haus, minum saja, tapi jangan salahkan aku jika mereka mengamuk padamu," katanya kemudian. 

"Saya tidak sebodoh itu, Aoyama-san. Anda hanya membawa satu botol, sementara siswa itu ada enam jumlahnya. Mana mungkin satu botol air mineral ini akan dibagi rata pada mereka semua?"

ACROSS THE LINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang