CHAPTER III - SIMFONI KEGIATAN

19 2 0
                                    

Semua anak itu berkumpul menyambut diskusi fotografi, namun aku dibuat bingung dengan seorang rekan teladan yang tidak terlihat hari ini. Hari yang cerah di Sabtu, 1 Oktober 2022, burung-burung terbang mengelilingi pohon, angin berhembus menggoyangkan setiap batang dan ranting. Ruang kantin terbuka yang luas itu memang cocok untuk dijadikan area pertemuan, dengan meja dan kursi kayu, gerobak makanan pun mengelilingi area tersebut.

"Rex di mana? Sedari tadi aku tidak melihatnya." Aku bertanya.

"Gak tahu kak." Balas Nara.

"Dengar-dengar lagi rapat Kak." Maya.

"Hah... Memang ada rapat?" Sila.

"Iya, rapat pramuka." Maya.

"Membahas apa?" Aku pun bertanya.

"Gak tahu juga kak." Balas Maya.

Hilang bagai diculik organisasi sebelah, aku pun tetap membuka ruang pembicaraan. Diskusi berlangsung dengan penuh semangat, namun juga berbenturan dengan rasa kantuk. Kerasnya suara diskusi dari ruang kelas yang tidak jauh dari situ mengalihkan pembicaraan menjadi keheningan.

"Memang mereka bahas apa sih?" Nara bertanya kebingungan.

"Gak tahu juga, perasaan Rex belum juga balik." Balas Maya.

"Rapatnya berapa jam dah..." Lanjut Sila.

Kami yang berkumpul di situ menanti pemuda itu kembali. Sudah 2 jam berlalu Rex belum juga kembali sehingga dalam penantian itu, waktu mengubah suasana menjadi kebosanan. Bagai kejutan di ujung jalan, seorang anak muda dengan jaket abu-abu kesayangannya yang dililitkan pada leher datang menghampiri kami. Seolah membawa kabar kurang baik, raut muka yang datar menggambarkan banyak kegiatan menanti.

"Ha... Kemah?!" Maya terkejut mendengarnya.

"Serius, kapan?" Sahut Nara.

"Eh, iya kah?" Tanya Lia.

"Dalam rangka?" Aku pun ikut bertanya.

"Di mana?" Lanjut Maya.

"Di sekolah." Rex.

"Oke..." Aku seolah menutup pembicaraan membuat keheningan sementara.

"Tograf diminta jadi dokumentasinya." Rex melanjutkan.

"Ha, serius?!" Sila terlihat kaget.

"Iya tapi cuma dua orang." Rex.

"Kalau lebih?" Tanyaku.

"Gak bisa." Rex.

"Bah, kenapa?" Aku pun bertanya lagi.

"Konsumsinya cuma buat dua orang." Jawab Rex.

"Kapan?" Tanya Maya.

"Tanggal 7 dan 8." Rex.

"Hari apa itu?" Tanyaku.

"Jumat, Sabtu."

"Dapat konsumsi kan?" Sila.

"Dapat." Rex.

"Tadi loh sudah dibilang dapat..." Sahut Lia dengan nada bercanda.

"Iya...iya, maaf." Sila.

"Terus, kemahnya dalam rangka apa Rex?" Aku bertanya lagi.

"Perjusa." Perjusa sendiri singkatan dari Perkemahan Jumat-Sabtu.

"Okelah kalau begitu." Balasku.

"Terus nanti tidurnya di tenda juga?" Lanjut Lia.

"Nanti dikasih ruangan." Rex.

Mereka semua menatap satu dengan yang lainnya seolah menunjuk seseorang untuk menjadi perwakilan Tograf dalam dokumentasi kemah. Suasana hening pun kembali tercipta menguasai kantin itu.

"Jadi siapa yang nanti dokumentasi kak?" Maya.

"Yang pasti kalian..." Tatapanku tajam mengarah pada Sila, Lia, Nara yang satu circle.

"Kan cuma berdua kak." Sila.

"Kalau berdua kenapa?"

"Gak bisa, kan sudah satu paket kita kak."

"Iya kak, satu ikut, ikut semua." Balas Lia.

"Kalau Maya bisa gak ikut?"

"Kurang tahu kak, soalnya dekat PKL." PKL sendiri singkatan dari Praktik Kerja Lapangan, dimana siswa mencari perusahaan atau tempat usaha untuk mencari pengalaman kerja selama beberapa bulan. Tentunya dari PKL tidak bisa mengharapkan gaji karena statusnya magang dan bukan pekerja tetap, jadi terkadang harus bekerja dengan ikhlas.

"Ko Gray gak ikut?" Tanya Rex.

"Kemah ya... Kalian saja."

"Lah kakak?" Lanjut Maya.

"Gak ikut."

"Kenapa ko?" Rex.

"Karena terakhir aku kemah, banyak kejadian di luar nalar."

"Kejadian apa ko?"

"Ada deh."

"Kalau aku ikutan, nanti apa yang akan terjadi ya..." Pikiranku mulai melambung tinggi mengingat setiap kejadian demi kejadian absurd saat kemah. Setiap aku mengikuti kemah, di saat itu pula aku dihadapkan pada masalah hubungan, bukan untuk pertama kalinya. Kemah pertama saat SMP tahun 2017, di mana aku menjaga tenda teman wanitaku sepanjang malam hingga menjelang pagi. Kemah SMK pada 2018, di mana siangnya aku terjatuh di lapangan dan tidak bisa bersama temanku melakukan penjelajahan.

"Akankah ada kisah romansa lainnya?"

"Akankah aku terjatuh di lapangan lagi?"

"Tapi yang pasti aku tidak mau ikut kemah."

Aku menebak-nebak dalam hati, namun tinggi dugaan akan ada hal menarik yang akan terjadi. Namun hingga detik itu, kuat batin bersikukuh tidak mengikuti kemah, untuk menghindari adegan cerita lainnya yang panjang bagai simfoni.

"Berarti aku sama Hely saja." Ucap Rex.

"Tapi tolong tanyakan Rex, kalau semua anggota bisa ikut gak?" Aku mencoba mengusulkan.

"Oke ko, sebentar aku tanyakan." Rex membuka hp-nya dan menghubungi salah satu panitia agenda tersebut, tidak lama kemudian.

"Bisa tapi konsumsi hanya untuk 2 orang."

"Oh ya sudah, kalau begitu kalian ikut semua."

"Harus kah kak?" Sila bertanya dengan nada sedikit lemas.

"Harus."

Aku tidak pernah berpikir tentang kemah setelahnya, sehingga bisa fokus pada tugas kuliah dan terkait kemah, dapat kudelegasikan pada rekan-rekan Tograf lainnya. Aku tak memiliki ekspektasi apa pun tentang saat itu, hanya akan menjadi hari biasa yang cukup menggugah batin untuk meraung bagai singa di atas tempat tidur. Namun yang terjadi justru perjalanan yang kuhindari itu menjadi simfoni musik yang bermain dengan alunan naik-turun.

Takdir telah berkata lain.

Cerita dalam KameraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang