Pejuang Tangguh

108 17 1
                                    

Randu duduk di kursi yang berada di lobi rumah sakit. Langit mulai terang, setelah bergerumul dengan perdebatan dan pembicaraan mendalam, Randu memutuskan untuk duduk di lobi, menghadang langkah Elina. Jika dihitung, Elina belum ada setengah perjalanan, tetapi Randu juga tidak ingin bersikap khawatir. Hal yang Ia pikirkan saat ini adalah Abil yang keadaannya masih kritis dan Tara yang menginap di kantor polisi. Randu kembali mengembuskan napas panjang, rasa kantuk sama sekali tidak mampir, ia tidak tenang sebelum bisa melihat kondisi Abil dan memastikan bagaimana keadaan Tara di kantor polisi, Ia juga belum mengecek ponsel untuk tahu apakah Tara berada di bawah pengaruh narkotika atau tidak.

"Anda benar soal Abil." Rendra mengambil tempat di sebelah Randu, Ia baru mendapat kabar bahwa Abil akan menjalani operasi kedua karena keadaannya cukup baik.

"Ada apa?"

"Abil itu ambisius, keinginannya untuk hidup sangat besar. Saya sendiri bahkan tidak tahu sudah berapa lama berada di rumah sakit, sejak pertama kali saya menginjakkan kaki di Indonesia. 16 jam perjalanan dari Paris dan setelahnya saya tidak bisa menghitungnya. Rasanya begitu lama atau cepat, saya langsung ambil flight pesawat pribadi saat Revan mengabari bahwa abil dalam masalah, sepertinya di Indonesia masih pagi, Revan bilang tidak bisa memastikan, tetapi anak itu mendesak saya untuk segera pulang, sudah mengajak Elina, tetapi ia tidak ingin peduli. Saya berusaha secepatnya sampai, tetapi begitu saya di bandara, Revan memberi kabar sangat buruk dan sampai sekarang rasanya seperti mimpi."

"Sekarang udah operasi kedua?"

"Iya."

"Anda terlalu bertele-tele."

"Saya hanya sedang menghitung waktu dan sekarang bahkan matahari sudah tinggi."

"Saya bahkan lupa kalau saya seorang CEO."

Keduanya terkekeh pelan, merasa lucu dengan takdir dan waktu yang tadinya mereka pikir berhenti sejenak, ternyata terus berjalan.

"Anda benar-benar tidak ingin bertemu Tara?"

"Untuk saat ini belum."

"Kenapa?"

"Karena hati nurani saya berkata demikian."

Keduanya kembali diam, lobi rumah sakit mulai ramai lalu lalang, bangunan yang semalam seperti tidak ada kehidupan, kini mulai ramai. Dokter setiap poli mulai berdatangan, pasien dengan berbagai keluhan mengambil nomor antrian. IGD kembali disibukkan dengan berbagai kasus darurat, keduanya terpaku dalam diam, tidak peduli jika dunia di sekitar mereka tetap berputar.

***

Septiyan mengembuskan napas panjang begitu selesai mengabarkan soal Abil. Ia sendiri tidak tahu secara mendetil, sebab Danu hanya menyampaikan bahwa saat ini Abil dalam keadaan kritis. Hal itu menyebabkan ketidakhadiran Randu sebagai CEO, tetapi Septiyan merasa janggal saat Haris tetap datang meski terlambat.

"Berhenti menatapku seperti itu, dunia harus tetap berjalan meski abil sekarat. Lagian dia cuma anak magang, tidak akan terlalu berefek dengan tim." Haris melotot tajam, tidak menyukai tatapan staffnya yang terkesan ingin tahu.

"Aneh."

Roni berdecih, ia yakin bahwa bukan hanya Ia yang berpikir demikian. Mereka tidak paham apa Haris yang tutup mata atau memang tidak memiliki perasaan. Roni meneruskan pekerjaan yang tertunda, setelah Abil membantu menyelesaikan projek berat, pekerjaannya kali ini lebih mudah. Septiyan menghampiri meja Roni, laki-laki itu memijat pelipisnya, mengembuskan napas panjang.

"Kenapa, Pak?" tanya Roni dengan alis berkerut.

"Kayak ada yang kurang, nggak ada Abil rasanya kosong."

Rehat : Berhenti Sejenak, BeristirahatlahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang