Titik Nadir

75 12 3
                                    

Elina memasuki mobil dengan perasaan berantakan. Konfrontasinya kepada Siska dan Toni hanya menimbulkan banyak persoalan lain. Elina merasakan kebuntuan, arah pandangannya gelap. Perempuan itu masih terisak, banyak hal yang dipertaruhkan dan Elina tidak bisa memilih semuanya. Elina mengembuskan napas panjang, mencoba menguatkan diri untuk datang ke satu tempat yang diharapkan bisa membuatnya tenang.

Hawa dingin dan malam yang kian larut tidak mengurungkan niat Elina untuk mengunjungi seseorang. Seseorang yang bisa menunjukkan jalan kebenaran untuknya, seseorang yang tidak pernah ia dengar nasehatnya sebelumnya. Mobil dengan harga fantastis itu menelusuri jalur pedesaan, berhenti di sebuah warung yang masih ramai meski sudah berganti hari. Suara musik dangdut koplo menjadi pengisi suasana. Elina mengembuskan napas panjang sebelum turun dari mobil, menghampiri area warung yang ramai. Langkahnya langsung terbawa ke area belakang, jauh dari warung yang penuh hiruk pikuk menuju rumah sederhana yang temaram.

"Ternyata, meskipun kamu membenciku, feelingku sebagai Ibu tidak pernah salah." Perempuan dengan keriput dan dasternya duduk di serambi, dengan sebatang rokok terjepit di jemari. Elina menghampiri, lantas bersimpuh di hadapan sang ibu.

"Ibu, elina bingung." Elina kembali menangis, kepalanya Ia sandarkan di pangkuan sang ibu, membuat sang ibu lekas mengelus pelan, memberi kenyamanan kepada putrinya.

"Beberapa waktu lalu, Narto datang kepadaku, dia bilang, baru saja ketemu cucuku, anaknya baik dan cerdas, jauh berbeda dengan anak Siska." Lestari, perempuan yang menggelungi dunia malam sejak masih belia, duduk dengan tenang, tangannya tidak henti membelai rambut Elina.

"Namanya Abil, Bu. Sekarang, Abil lagi sakit karena kecelakaan, aku pengen jenguk, tapi Mas Rendra melarang, katanya aku ibu yang buruk, itu benar, ya?" Elina mencoba mengeluarkan satu per satu isi pikirannya, pandangannya menerawang ke arah kegelapan.

"Dia anakmu sama Rendra? Terus, anakmu sama Randu?" Lestari menunduk, menatap Elina yang pandangannya kosong dengan air mata terus mengalir, membasahi daster yang baru dipakainya dua kali.

"Namanya Tara, lagi di kantor polisi karena Tara yang membuat Abil celaka." Elina mengembuskan napas panjang, mulai menyadari jawaban dari pertanyaan sebelumnya.

"Anak Siska?"

"Di rumah dan kehilangan banyak hal. Ternyata, darah Abang sebagai bajingan terwarisi ke Haris. Anak itu melecehkan perempuan dan membuat perempuan itu bunuh diri. Mas Randu udah menutupi kasus itu, tetapi untuk saat ini, ada yang memiliki bukti lebih kuat dan Mas Randu angkat tangan." Elina mengingat pilihan yang disodorkan Randu, Ia ingin mempertahankan posisinya, tetapi Ia menyayangi Haris, apalagi melihat penolakan Siska dan Toni.

"Elina, tidak semua hal berada di dalam kendali kamu. Aku tahu kamu sayang banget sama Abang kamu, tapi Haris bukan Abangmu, Lin. Siska sudah puas  dengan ganti rugi selama ini, Toni sudah menerima Siska apa adanya meski mereka nggak bisa punya anak kandung. Sebelum kamu ke sini, Siska dan Toni udah ngasih tahu, kamu menyalahkan mereka untuk suatu hal yang berada di luar kendali mereka. Aku akui, tindakan mereka menemui Haris adalah kesalahan, tapi itu juga menjadi salahmu karena kamu ingkar janji." Lestari kembali menghisap rokoknya, mengembuskan ke udara pagi yang dingin.

"Aku cuma nunggu mereka sabar, Bu."

"Yang memutuskan akan sabar atau tidak itu mereka, Lin. Masih untung mereka tidak membuka identitas Haris yang sebenarnya. Mereka waktu itu mengalami kesulitan ekonomi, menunggu hal yang kamu janjikan tapi tidak ditepati dan kamu baru akan bergerak saat mereka mengancam."

"Aku cuma pengen ngasih yang terbaik buat Haris, Bu. Aku sayang sama Haris, aku rela kasih apapun buat dia."

"Sampai kamu lupa, bahwa kamu punya dua anak kandung yang butuh diperhatikan juga. Dua-duanya sedang jatuh dan kamu hanya mencoba menolong Haris."

"Bukan seperti itu."

"Haris bukan Abangmu, Lin. Maafkan aku karena tidak bisa memberi hidup yang mudah buat kalian berdua, menarik kalian ke dalam dunia malam yang aku geluti sejak remaja. Aku paham lukamu, Lin." Lestari mematikan sisa rokoknya, menekan puntungnya di asbak yang penuh dengan puntung yang sudah mati.

"Bu, aku sayang sama haris."

"Haris sudah dewasa, Lin. Biarkan dia bertanggungjawab atas kesalahannya sendiri."

Elina menggeleng, Ia mendongak menatap Lestari yang terlihat sendu.

"Dan biarin Haris melakukan hal bodoh kayak Abang? Sampai sekarang, bayangan Abang gantung diri masih jadi mimpi burukku, aku nggak mau itu terjadi, aku nggak mau jadi ibu yang gagal seperti Ibu." Elina menggebu-gebu, bayangan masa lalu mengerikan itu sangat sulit Ia lupakan.

"Kamu sudah menjadi ibu yang gagal untuk dua anak kandungmu, Lin." Lestari menjawab dengan dingin, pandangannya menerawang ke arah warung yang ramai.

"Aku diberi dua pilihan. Melepas Haris dan kembali bersama Mas Randu dan Tara, tanpa Abil di dalamnya. Atau tetap bersama Haris dan melepas semuanya, semua hal indah yang udah aku rasakan." Elina mendongak, menatap wajah Lestari yang sudah keriput sana-sini.

"Hidupku udah nyaman, Siska dan Toni juga demikian. Apalagi alasan kamu bertahan dengan Randu? Dan aku pikir, Randu tidak akan melepas kamu dengan tangan kosong. Kamu dulu mikir, Rendra bisa jadi opsi kedua, tapi, sekarang kamu bahkan tidak memiliki keduanya. Ini resiko berurusan dengan orang kaya, Lin." Lestari tidak memberi jawaban yang utuh, perempuan itu tetap meminta Elina memikirkankannya lebih dalam. Lestari sudah memahami bahwa semua hal yang terjadi, Ia juga berperan. Tidak mampu memberi kasih sayang yang utuh sebagai orang tua, tidak mampu memberikan kehidupan yang nyaman dan aman, Lestari mengakui kegagalannya, hingga rasanya sangat wajar jika Elina akan melakukan apa pun untuk mendapatkan hal yang tidak pernah mampu Ia berikan. Kasih sayang, cinta, perhatian dan kekayaan yang tidak mampu Lestari berikan secara utuh kepada dua anaknya.

"Maafkan aku, kalau saja aku bisa berikan kehidupan nyaman buat kamu dan Abangmu. Aku tahu, semua ambisi ini melelahkan, kalau memang sudah tidak tahan, istirahat, Lin. Dekapanku selalu menyambut kamu, meski aku bukan ibu yang ideal, tapi aku sayang sama kamu, meski ibumu ini sudah renta dan gampang masuk angin, aku masih sanggup menuntunmu, rumah ini selalu terbuka buat kamu. Sebenci apapun kamu sama aku, semua itu tidak akan mengubah perasaan seorang ibu." Lestari menangkup wajah Elina, menyeka sisa air mata yang membasahi pipi. Ia bawa Elina untuk bangkit, lantas memeluk Elina erat-erat. Hanya ini yang mampu Lestari lakukan, selalu ada di titik rendah putrinya.

"Ayo masuk, aku kangen banget sama kamu." Lestari bangkit dari posisinya, bergandengan menuju kamar, meski Ia bukan ibu yang romantis, tetapi Lestari mencoba yang terbaik. Ia membantu Elina membasuh wajah, menyiapkan air hangat dan baju ganti. Keduanya berbaring, Elina memeluk Lestari, sedangkan Lestari bersenandung lirih. Lestari berharap, Elina mampu membuat keputusan yang bijak. Lestari memandang wajah pucat Elina, perasaan bersalah memuncak, saat kecil Ia tidak pernah memperlakukan Elina dengan baik, Ia berkelana mencari uang dengan dunia malam, meninggalkan Elina berlindung hanya kepada kakaknya. Kepergian putra pertamanya, jelas meninggalkan luka sangat dalam untuk Elina. 

TBC

Rehat : Berhenti Sejenak, BeristirahatlahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang