Bab 1. Halusinasi

20 1 0
                                    

Dalam malam Jakarta yang kelam, Angga terbaring tak berdaya di sudut gang depan rumahnya. Keheningan malam hanya dipecahkan oleh suara hujan deras yang turun tanpa henti, seakan turut menangisi nasib malang yang menimpanya. Luka-luka di tubuhnya terasa perih, lebih perih lagi ketika ia mengingat bagaimana barang-barang berharganya dirampas oleh begal tak berperasaan.**

**Angga mencoba untuk bangkit, namun tubuhnya seolah menolak perintahnya. Setiap otot terasa nyeri, seakan raga ini tak lagi sanggup menahan beban. Gang sempit itu terasa begitu sunyi, seolah dunia telah mengabaikannya. Tak ada satu pun orang yang melintas, sebab gang ini sudah lama ditinggalkan, tak lagi menjadi jalur utama bagi para pejalan kaki.**

**Dalam kesunyian yang mencekam, Angga merasakan sesuatu yang lembut menyentuh wajahnya. Ia berharap itu hanya angin, namun alih-alih angin, ia mendapati kumis tikus menjilati luka di atas bibirnya. Rasa jijik menyergapnya, namun ia terlalu lemah untuk menepis tikus itu. Ia hanya bisa meringis kesakitan dan membiarkan darah segarnya menjadi santapan para tikus lapar.**

**“Akkhhh... tikus sialan! Emangnya aku ini bangkai?” jerit Angga, suaranya pecah oleh kepanikan dan kesedihan yang membuncah.**

**Gelap malam seolah ikut mengkhianati Angga, tak ada satu pun cahaya yang bisa menerangi jalannya. Dengan sisa tenaga yang tersisa, ia mencoba merangkak menuju pintu rumahnya. Setiap tetesan darah yang jatuh dari wajahnya mengotori kemeja putih yang ia kenakan, kemeja yang ia persiapkan dengan penuh semangat untuk hari pertamanya bekerja. Namun, alih-alih kenangan manis, malam itu hanya menyisakan luka dan kepedihan.**

**“Kalau saja aku tidak bertemu dengan bajingan itu…,” pikir Angga dengan suara yang hampir tak terdengar. Kepalanya dipenuhi dengan bayangan kelam, tentang bagaimana nasibnya akan di perusahaan barunya. “Sial… Baru hari pertama, aku sudah harus izin istirahat. Bagaimana atasan baruku akan menilai ini?” gumamnya, rasa frustrasi menggerogoti pikirannya.**

**Di tengah keputusasaan, Angga berusaha menghibur dirinya sendiri. “Mungkin ini pertanda, agar aku lebih hati-hati ke depannya,” pikirnya, meski dalam hati kecilnya, ia tahu bahwa kata-kata itu hanyalah penghibur diri semata.**

**Ia teringat pada sosok Anna, istrinya, yang selalu bisa menenangkan hatinya. “Anna… Maafkan aku,” desahnya lirih, menahan air mata yang hampir tumpah. Dalam kesakitan yang luar biasa, ia membayangkan wajah lembut istrinya yang selalu tersenyum, memberikan kekuatan yang ia butuhkan.**

**Namun, kesadarannya mulai memudar, dan sebelum ia benar-benar tak sadarkan diri, ia merasakan pintu rumahnya terbuka. Sesosok bayangan yang samar muncul di depannya. Anna! Apakah ini nyata? Atau hanya halusinasi akibat rasa sakit yang tak tertahankan?**

**“Kenapa, sayang? Apa yang terjadi?” suara Anna terdengar begitu nyata di telinganya. Ia merasakan sentuhan lembut di wajahnya, sentuhan yang selama ini selalu ia rindukan. Anna membawanya masuk, membersihkan luka-lukanya dengan penuh kasih sayang. “Siapa yang melakukan ini padamu?” tanyanya, suaranya penuh kekhawatiran.**

**Angga tak sanggup menjawab. Ia terlalu lelah, terlalu bingung antara kenyataan dan mimpi. Ia hanya bisa terbaring lemah, merasakan hangatnya kasih sayang yang pernah ia nikmati.**

**Waktu berlalu dalam kabut yang membingungkan. Ketika akhirnya ia terbangun, Angga mendapati dirinya di rumah sakit. Lampu-lampu terang menyilaukan matanya, dan suara mesin-mesin medis terdengar mengisi keheningan. Ia kebingungan, mencoba mengingat kembali apa yang terjadi.**

**“Dok, sudah berapa lama saya di sini?” tanyanya dengan suara lemah kepada dokter yang memeriksanya.**

**“Sudah dua hari, kamu diantar warga ke sini setelah ditemukan tergeletak di gang,” jawab dokter itu dengan nada tenang. Namun, bagi Angga, jawaban itu terdengar seperti palu godam yang menghantam kepalanya.**

**Ia teringat kembali pada bayangan Anna, senyum manisnya, dan kehangatan yang ia rasakan. Namun, semua itu hanya ilusi. Di rumah sakit itu, ia menyadari bahwa Anna sudah lama pergi, meninggalkan dunia ini.**

**“Anna…” bisiknya lirih, air mata mulai mengalir di pipinya. Ia terjatuh ke dalam kesedihan yang tak berujung, menyadari bahwa malam itu, yang ia alami hanyalah halusinasi akibat rasa sakit dan kehilangan yang tak tertahankan.**

**Namun, Angga tahu bahwa ia harus bangkit. Hidup harus terus berjalan, meskipun rasa sakit ini tak akan pernah hilang. Di rumah sakit itu, ia bertekad untuk terus melangkah, mencari kekuatan dalam kenangan indah yang pernah ia miliki, dan menghadapi dunia yang keras ini dengan hati yang lebih kuat.**

**“Aku akan bertahan, Anna. Demi kenangan kita,” ucapnya dalam hati, sambil menatap keluar jendela, melihat hujan yang masih mengguyur kota Jakarta, seolah-olah langit pun ikut menangisi nasibnya.

---


Rain and MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang