Jennie terbangun dari tidurnya, tubuhnya yang telanjang hanya terbalut oleh selimut berwarna abu muda, "maafkan Eomma, Ahyeon-na.. sepertinya Eomma sudah kelepasan tadi malam.." hal yang pertama Jennie pikirkan setelah kejadian semalam adalah bagaimana kalau Ahyeon mengetahui perilaku sang Ibu yang sudah mengenal sosok laki-laki lain selain Ayahnya, meskipun Ahyeon akan memaafkannya Jennie hanya merasa kalau ini tidak benar dan tidak seharusnya terjadi.
Sebuah sentuhan terasa di kakinya ketika kaki Jisoo bergerak lembut dan berhasil membangunkan Jennie sepenuhnya, wanita itu menoleh ke arah belakang dimana Jisoo perlahan membuka matanya dan menatap Jennie sembari tersenyum.
"Selamat pagi, Jen.." suaranya yang parau membuat Jisoo terlihat menggemaskan untuk Jennie.
"Hai.." tangan kanan Jisoo memeluk tubuh wanita itu membawanya mendekat dan tidak memberikan ruang sedikitpun diantara mereka, "selamat pagi.."
Jennie mengelus garis rahang Jisoo dengan lembut tapi lelaki itu malah kembali terpejam, Jennie tidak bisa melepaskan tangan Jisoo dari atas tubuhnya, "singkirkan tanganmu, kita harus kembali bekerja untuk bertahan hidup." Tapi Jisoo hanya menyeringai dan tidak mengindahkan ucapan Jennie, "baiklah, apakah aku sedang diculik sekarang?"
"Apakah kau akan kembali mengunjungiku?" Jennie tidak menjawabnya dan segera bangun untuk bersih-bersih.
Setelah semuanya siap, Jennie membuat dua gelas kopi untuk dirinya dan Jisoo tapi lelaki itu sudah di teror oleh panggilan telpon yang tidak kunjung berhenti sedari tadi, "sepertinya ini penting." Jennie memberikan ponsel Jisoo yang tergeletak di dekatnya.
"Iya memang, tapi aku ingin menikmati kopi hangat ini dulu." Kopi buatan Jennie terasa saat sayang untuk di nikmati kalau sembari mengurus pekerjaannya jadi Jisoo berusaha selama mungkin menikmatinya saat Jennie belum berangkat kerja.
"Tapi ponselmu tidak berhenti berdering Jisoo-ya.."
"Arraseo." Jisoo memberikan ekspresi wajah kecewa saat ia harus menyimpan gelas kopinya di meja.
"Kau bisa meminumnya lagi nanti." Ucap Jennie menenangkan.
"Halo.." ternyata itu adalah panggilan dari seorang investor yang berasal dari Thailand, mereka sedang bernegosiasi untuk salah satu proyek yang Jisoo jalani saat ini. Lelaki itu terlihat mulai mondar-mandir untuk mencari berkas apa saja yang harus dipahami oleh sang calon investor, "apakah tidak ada orang yang bisa berbahasa Korea atau Thailand yang bisa membantunya berbicara denganku?" Nada Jisoo terdengar mulai meninggi.
"Aku harus pergi." Bisik Jennie disela-sela pembicaraan Jisoo.
"Tunggu sebentar Jen.." bisik Jisoo juga, Jisoo terdengar berusaha untuk memastikan ucapan orang yang berada di seberang telponnya menggunakan bahasa Thailand tapi semuanya terdengar kacau dan Jisoo mulai frustasi dibuatnya.
Jennie mengerutkan alisnya bahkan ia sempat menertawakan tata bahasa Jisoo, Jisoo menjauhkan telponnya dan berbicara dengan Jennie, "tunggu sebentar Jen, aku harus menyelesaikan masalah ini dengan bahasa Thailand."
"Aku tidak bisa menunggumu tapi aku bisa membantumu," Jennie menarik wajah Jisoo untuk mendekat dan memberikan sebuah kecupan manis di bibirnya ia kini sudah berani untuk melakukannya lebih dulu, "apa yang ingin kau sampaikan?"
"Yayasan hutan hujan ingin membeli tanah seluas 5.000 hektar."
"Oh kau salah mengucapkannya, biar aku saja." Jennie segera mengenakan mantelnya dan merebut ponsel Jisoo dari tangan lelaki itu.
"Terima kasih."
Jennie berjalan menuju pintu lift sembari berbicara menggunakan bahasa Thailand kepada calon investor tersebut, Jennie tidak terdengar ragu-ragu mengucapkannya bisa di bilang kalau dia sangat fasih berbahasa Thailand. Setelah ia berhasil meyakinkan orang tersebut untuk mengikuti proyek yang Jisoo sedang kerjakan Jennie menutup panggilan telponnya dan melemparkan ponsel Jisoo kepada pemiliknya.
"Aku sudah terlambat Jisoo-ya."
"Hah? Itu saja?"
"Hmm." Pintu lift pun tertutup, Jisoo yang berniat ingin mengantarkan Jennie untuk pergi ke tempat kerja pun mengurungkan niatnya karena wanita itu bisa pergi sendirian menggunakan taksi dan pekerjaannya pun tidak bisa ditunda lagi.
Di sepanjang perjalanan, Jennie tak berhenti tersenyum ia merasakan perasaan yang pernah sekali ia rasakan atau mungkin beberapa kali sudah pernah ia rasakan tapi senyuman itu langsung menghilang saat taksi yang di kendarai Jennie berhenti sejenak di dekat sebuah taman. Jika ia menarik mundur peristiwa-peristiwa yang sudah terjadi dalam hidupnya taman ini memiliki kenangannya tersendiri.
Di kursi taman yang sama, dulu beberapa puluh tahun yang lalu ada seorang lelaki yang duduk diantara banyaknya orang yang berlalu lalang, Jennie memang sudah memiliki janji dengan lelaki itu tapi ia mengurungkan niatnya untuk turun dari taksi setelah melihat apa yang lelaki itu keluarkan dari dalam saku jaketnya. Sebuah kotak cincin yang sudah Jennie pastikan menjadi pertanda yang tidak bagus untuknya.
Jennie tidak bisa lagi terikat pada sebuah komitmen karena umurnya, ia hanya tidak ingin terus menerus melihat orang yang ia sayangi menjadi tua dan akhirnya pergi meninggalkannya yang terjebak di dunia. Jadi sejak saat itu, Jennie hanya menjadikan laki-laki sebagai temannya saja dan berusaha untuk tidak terjatuh ke dalam perasaan yang lebih dalam lagi.
Jennie tau setiap lelaki yang di tolaknya akan merasa kecewa dan sakit hati tapi bagaimana dengan perasaannya? Di pisahkan selamanya dengan orang tersayang melalui kematian.
Entah apa yang kali ini membuat Jennie terjatuh terlalu dalam ke dalam perasaannya bersama Jisoo, belum terpikirkan akan seperti apa hubungannya dengan Jisoo nanti di samping Jennie juga belum mau untuk menceritakan rahasia kecilnya pada Jisoo.
Sepulang kerja, Jennie menyempatkan diri untuk menikmati segelas kopi di sebuah kafe sendirian, di temani oleh buku Daisy Miller karangan Henry James pemberian Jisoo.
***
Jennie pulang ke rumah untuk mengecek bagaimana keadaan Kuma tapi setelah beberapa kali Jennie panggil Kuma tidak kunjung mendatanginya seperti biasa, "Kuma-ya.." Jennie menggantungkan jaketnya dan berjalan mencari dimana Kuma berada.
"Kuma-ya!!" Kuma sudah tergeletak di dekat karpet dalam keadaan lemas, Jennie segera memeluknya dan memastikan kalau Kuma baik-baik saja tapi ia tidak ingin mengambil resiko, Jennie segera membawa Kuma ke dokter hewan.
"Kadar kreatinin dalam urinnya sangat tinggi yang artinya ia mengalami gagal ginjal. Tubuhnya sudah dipenuhi oleh racun dan dia tidak sanggup menahannya lagi." Jelas sang dokter, Jennie mengelus-elus tubuh Kuma yang sudah tidak berdaya di masa kritisnya.
"Apa ia merasakan sakit?"
"Sulit untuk mengatakannya." Air mata terus mengalir di pipi Jennie, selama ini ia tinggal berdua bersama Kuma, hanya Kuma yang menemaninya.
"Apa yang akan kau lakukan kalau kau berada di posisiku, dok?" Tanya Jennie dengan suara yang bergetar.
"Aku akan memikirkan tentang betapa indahnya kehidupan yang sudah Kuma lalui bersamamu, betapa beruntungnya kalian bisa hidup bersama." Mendengar ucapan sang dokter membuat Jennie semakin menangis.
"Bolehkah aku meminta waktu sebentar dengannya?"
"Tentu saja." Dokter pun meninggalkan Jennie berdua dengan Kuma, keputusan ini sangat berat. Jennie tidak ingin ditinggalkan oleh anjing kesayangannya tapi di sisi lain Kuma sudah tidak sanggup lagi bertahan lebih lama.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
A Little Secret [END]
FanfictionSeorang wanita yang selama 6 dekade terakhir menyembunyikan identitas aslinya demi keselamatan hidup dirinya sendiri dan sang anak perempuan. Parasnya yang tetap menawan bahkan di umurnya yang tidak lagi muda cukup menyulitkan untuknya karena harus...