Senja menajam di penghujung hari, membayang siluet berkaki tinggi tengah menepis kertas yang terbang menyentuh wajahnya. Dengus jengkel tercipta sebelum langkah lebar kembali menjejaki koridor penuh dokumen dan buku, menggunung di kedua sisi.
Dia penat sebenarnya. Usai kerja lembur yang berhasil menghabiskan stok kopi, ia masih harus mengurus perkara yang entah mengapa tak selesai-selesai– tidak peduli seberapa menyakitkan mata penampilannya kini.
Dia tak pernah lembur, oke. Jadi jangan persoalkan rambut berantakan, wajah kumal dan kemeja hitam kusut; bagian lengan sudah dikikis asal sampai ke siku. Kain tersebut telah melekat di badannya beberapa hari tanpa mengalami pergantian dan fakta ini membuat tekadnya semakin kuat untuk merampungkan sesegera mungkin. Kalau tidak, artinya dia harus ke kedai yang sangat jauh– dalam artian yang sebenarnya –untuk mencari secangkir kafein. Yang artinya pula dia harus lembur lagi.
Poin terpentingnya adalah semua kekacauan ini bukan ulahnya dan dia telah dibuat bekerja selama 72 jam penuh!
Dia muak. Hingga rasanya bisa saja menumpas habis malaikat nyentrik biang onar yang dengan sepenuh kegilaan telah mengacaukan satu divisi. Divisi utama. Tempat yang mana ia adalah penanggungjawabnya. Sial.
Lalu apa yang didapatkan setelah berjalan jauh sampai ke ruangan terujung ini?
Selain satu meja tertimbun kertas dan buku– yang penampakannya bahkan lebih buruk dari koridor, juga sepasang mata besar bersorot jenaka, cengir bodoh, serta deretan gigi putih besar-besar terselip cokelat. Hampir lupa disebutkan, aura cemerlang yang terpancar kuat seakan dia adalah makhluk termenyenangkan di seluruh jagat raya.
Namun pria jangkung ini tampak tak terkesan. Tangan pucat dibawa bersedekap angkuh, hawa dingin merebak. "Kau benar-benar tak berniat mengatasi kekacauan ini?"
Suara tereksiap hadir. Lawan bicaranya membelalak, menutup mulut yang menganga takjub. Percayalah, makhluk ini cuma ingin meledek terutama ketika kilat tengil itu terlalu jelas menunjukan maksudnya. "Memangnya masalah apa yang kuperbuat sampai Han sang ketua divisi utama turun tangan? Tck, tck, tck. Pasti masalah yang sangat luar biasa."
Karenanya dua meter dipangkas oleh sepatu pentopel yang mengetuk perlahan. Timbul aliran listrik tak berbayang dari permusuhan yang selama ini tak kasat mata. Pandangan tajam Han semakin menggelap. "Apa kau sama sekali tak bisa serius, Mael?"
Dia masih bertanya seakan butuhkan jawaban. Padahal tahu dengan pasti.
Anggap saja ia sedang berbaik hati dengan tidak langsung brutal menyerang. Rasionalnya masih tersisa untuk memperingatkan jika ceroboh, akan berakhir semakin rumit permasalahan. Telah mati-matian dia menutupi masalah ini, menghindarkan sejauh mungkin dari jangkau pendengaran sang Pimpinan. Maka emosi merupakan sesuatu yang tak berguna.
Sekedar di penglihatannya saja atau memang muka berseri Mael memudar, berganti sedikit serius.
Ya, sedikit.
"Kau tak perlu kaku begitu, bung." Tungkai panjang berdiri dari kursi putar yang sedari awal dimain-mainkan. Menyingkirkan segala macam yang tersaji di atas meja, lalu Mael duduki dengan kaki terlipat bersila. Jarak tersisa hanya tiga jengkal dari hidung ke hidung, namun tak ada yang berdalih mundur demi kenyamanan. "Lagipula bukankah memang tugasmu sebagai ketua divisi untuk memperbaiki kesalahan bawahanmu yang masih sangat membutuhkan bimbingan ini?"
"Tugasku adalah mengawasi yang bekerja di bawah kuasku, bukan untuk menuntaskan masalah yang sengaja kau perbuat hanya untuk kesenanganmu dan berhentilah memanggilku 'bung', 'kawan' atau semacamnya karen aku tidak ingat pernah memiliki teman sepertimu yang merendahkan derajat hanya untuk mencampuri urusan manusia. Jika perlu kuingatkan, aku senior sekaligus atasanmu, jadi jaga cara bicaramu." Jelas sebuah rekor untuk Han bicara sepanjang ini Andai pemuda malaikat di depannya tahu, dia pasti akan bersorak gembira. Tak menutup kemungkinan hal ekstrem bisa saja dilakukan. Semisal terjun payung saking senangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEVENTEEN DAYS | JAEMREN
FantasyRenjun tidak tahu kenapa takdir membawanya terlalu jauh dari apa yang semula ia harapkan. Kenapa harus terlibat dengan dimensi lain, dengan arwah dan dengan alam kematian. Renjun hanya berniat membantu, tanpa mengerti kalau kenyataan yang ada jauh l...