Roda koper bergulir dan sepasang kaki merayap. Renjun mencoba menerobos lautan manusia yang sama-sama memberondong ingin keluar.
Deru angin kencang menyambut. Maniknya turun pada pijakan, dermaga ini merupakan pertanda jika ia tak bisa menarik kembali keputusan yang telah diambil.
Renjun mengembus napas panjang seraya samar-samar memorinya memberi gambaran ketika sesosok bocah terjerembab di hamparan pasir akibat tersandung karang atau ketika si bocah mundur ngesot dan tersaruk pohon kelapa demi menghindari seekor kepiting yang berjalan ke arahnya.
Senyum tipis Renjun tertarik dari ujung ke ujung. Secercah kebahagiaan perlahan tapi pasti membangkitkan masa lalu yang mulai berjubal memenuhi ruang kenangan. Jelas dan terasa hangat, seakan baru saja diperbarui.
Namun sebegitu menyenangkan apapun kenangan di masa itu, langkahnya masih saja meragu, terhenti, menghalangi jalur orang-orang yang ingin ke tepian. Mereka berdecak kesal ataupun melipat dahi heran, tetapi membiarkan saja dan beralih ke sisi lain.
Matahari sudah di atas kepala kala Renjun tersadar dan bangkit dari lamunan. Ia menoleh kanan-kiri dengan mengernyit. Tak didapatinya eksistensi lain di situ. Mungkin mereka sedang sibuk berlindung di bawah naungan. Hari ini cuacanya terik sekali. Apalagi suhu di pesisir memang lebih tinggi.
"Tau gak, kontribusi makhluk fana seperti manusia juga terkadang diperlukan untuk membenahi masalah di lapisan-lapisan dimensi?"
Serta merta ia teringat pada pertanyaan yang diutarakan Alba di taman tempo hari.
"Enggak." Begitu jawaban Renjun kala itu.
Senyum Alba tersungging menanggapi, sekilas mirip seringaian. "Tapi lo percaya apa yang gue bilang barusan?"
"Nggak tau." Manik Renjun bergerak acak. Dia tidak dapat menemukan diksi yang patut tanpa harus menyinggung kepercayaan cowok itu. Karena sekali lagi, meski sudah mengalami hal mustahil secara nyata, cerita yang Alba tuturkan terlalu tidak biasa. Renjun perlu usaha keras agar tidak secara blak-blakan menyergah. Topik Alba soal manusia yang hidup secara serempak dengan dimensi lain, di tempat yang sama, di waktu yang sama tanpa saling bersinggungan apalagi bertabrakan sangat keluar dari jalur yang bisa dinalar. Namun ketidakpuasan tersorot di mata Alba. Dia ingin jawaban lebih. "Soalnya ... sekeras apapun gue mencoba menerima hal-hal seperti itu, tetap aja terasa kayak sebatas khayalan. Maksud gue ... di mana letak masuk akalnya dari cerita soal dimensi yang berlapis-lapis? Perkara hantu yang udah melekat sama budaya kita aja belum selesai-selesai, malahan makin lama makin kedengaran kayak isapan jempol belaka. Gimana bisa–"
"Dan karena itu, lo mencoba menampik kenyataan mengenai mereka yang bahkan udah lo saksikan dengan mata kepala lo sendiri?"
Renjun terkejut saat menerima manuver itu dari Alba. Dia sama sekali tidak pernah menceritakan apa yang dialaminya dan cowok ini tahu?
"Gue ... cuma ... takut." cicit Renjun setelah banyak detik mengisi keheningan yang menemaninya kehabisan kata-kata. "Gue ... gak mau berpikir banyak. Gue gak mau marah-marah ke orang yang salah lagi .... Makanya–makanya gue berusaha kembali ke pemikiran awal."
"Punya keluarga yang tinggal jauh gak?"
Renjun menyadari kalau Alba beralih topik. Nadanya diturunkan sehingga lebih tenang dan enak di telinga. Mungkin tahu kalau ia terjebak dalam ketidaknyamanan karena suara ketusnya.
" ... Punya," jawab Renjun pelan usai sekelebat sendu mengisi relung hati. Pertanyaan Alba berujung pada masa lalu yang tersimpan jauh tanpa pernah ia gali lagi. Betapa panjang jarak yang ia ciptakan setelah tak lama bertandang.
"Siapa?" Suara Alba melembut, seakan menyelaras dengan suara hati Renjun yang mendadak merindu.
"Nenek ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
SEVENTEEN DAYS | JAEMREN
FantasiaRenjun tidak tahu kenapa takdir membawanya terlalu jauh dari apa yang semula ia harapkan. Kenapa harus terlibat dengan dimensi lain, dengan arwah dan dengan alam kematian. Renjun hanya berniat membantu, tanpa mengerti kalau kenyataan yang ada jauh l...