Renjun mengembuskan napas berat untuk kesekian kali. Matanya merayap di sekeliling, pada gemerlap cahaya dari jajaran gedung di sekitar. Tinggi, menantang langit, sama seperti keberadaannya kini. Retinanya turun, jalanan kota masih sibuk meski sudah lama terlewat sejak matahari ditelan gulita. Segala jenis kendaraan terlihat sangat kecil dari jarak pandang, berbelit dan tertahan seperti aliran arteri yang tersumbat. Deru angin terdengar jelas di telinga. Malam ini dingin dan ia masih saja lupa memakai pakaian hangat; kebiasaan buruk yang sangat sulit diubah.
Merebahkan diri di salah satu kursi, Renjun ambil seteguk susu pisang kemasan, lantas mendesah.
Selain kamarnya yang memang selalu berantakan tiap paginya, dia tak pernah mendengar suara aneh ataupun bertemu sosok di toilet itu lagi.
Sama sekali tidak bagus.
Renjun jadi sering ketakutan dan waspada sebab dalam cerita-cerita yang ia baca, hal ini merupakan ketenangan yang akan membawa badai tak terduga. Dan tak ada kabar yang lebih buruk dari mendapati sesuatu seperti itu akan menimpanya.
Renjun tak suka menebak-nebak, meraba kemungkinan yang menghampar tanpa diketahui apa yang menunggunya. Renjun tak mau melangkah ke area yang belum tereksplor. Ia tak ingin melewati batas.
Namun apa yang menimpanya kini seakan memaksa Renjun masuk ke lingkungan yang tak ada di daftar tempat aman baginya.
Hal berbau mistis itu ... tak pernah terasa baik untuk Renjun. Entah di film, dongeng maupun hanya berita simpang siur. Renjun tidak pernah tertarik.
Sialnya sekarang, mendadak saja dia sudah kepalang terbawa jauh ke luar teritorinya. Ia mesti bagaimana? Haruskah melangkah maju dan mencari jalan menuju jawaban atau memilih mundur dan berusaha mengabaikan kejanggalan di depan mata.
Derit pintu terbuka membuyarkan lamunan. Renjun tidak menoleh, tetapi hela napas panjang diambil sebagai persiapan.
Tak ada yang bisa membuka kode pintu selain dia dan Ryu, karena tempat ini masih berada di bawah kepemilikan keluarga cewek itu. Tepatnya rooftop hotel berbintang yang disulap jadi escape space mereka.
Lalu Renjun melarikan diri dari Ryu ke wilayah kekuasaan Ryu. Sudah pasti dapat dengan mudah ditemukan, kan?
Tolong katakan saja Renjun tidak punya tujuan lain, karena memang begitu adanya.
Hampir Renjun melirik saat belum jua suara yang tanpa sadar ditunggunya menyapa gendang telinga, tetapi derap yang berakhir di sisi kanan menghentikan.
Bisa dibilang insting efek terlalu lama menempel macam prangko dengan Ryu, gampang bagi Renjun mengetahui jika yang berdiri di sampingnya bukanlah cewek itu. Sebentar.
Bukan Ryu?
Bukan Ryu katanya?!
Lalu siapa?!
"Sendirian aja, Kak?"
Dengan kecepatan nano sekon Renjun menoleh. Di sana menjulang cowok berperawakan tegap dan berahang tegas. Kemilau menyenangkan terlihat di sorot matanya, namun aura yang terkesan ... err intimidatif? Entahlah. Tetapi itu menguar kuat dari wibawanya.
Mula-mula Renjun sekadar mengerjap, takjub oleh kulit pucat macam vampir yang terlihat jelas di bawah tempaan cahaya lampu. Lantas belum satu detik, refleks Renjun bergerak mundur. Tameng transparan diaktifkan sebagai perlindungan.
Alis tebal itu terangkat heran. Renjun pasang kuda-kuda, kalau-kalau harus ngacir sekuat tenaga. Ia sudah siap untuk segala kemungkinan kala tatapan jenaka cowok ini berubah serius; setajam elang.
Sayangnya Renjun harus tersentak, tembok pembatas menghentikan pergerakan. Mungkin Renjun tak sadar, tetapi ia yang terus mendorong tubuhnya hingga condong ke belakang demi menjauh dari cowok ini bisa membuatnya ada di berita utama besok pagi. Dia akan jadi selebriti karbitan sampai seminggu ke depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEVENTEEN DAYS | JAEMREN
FantasiRenjun tidak tahu kenapa takdir membawanya terlalu jauh dari apa yang semula ia harapkan. Kenapa harus terlibat dengan dimensi lain, dengan arwah dan dengan alam kematian. Renjun hanya berniat membantu, tanpa mengerti kalau kenyataan yang ada jauh l...