Derit pendek terdengar kala gulungan raksasa yang menelan sebagian tubuh Renjun berpindah ke pangkuan kursi belajar. Selesai mengurus pakaian satu lemari yang betebaran, ia memiringkan kepala sampai di detik ketiga, prihatin terhadap diri sendiri merasuk ke dalam relung hati.
Kalian tahu ungkapan berantakan seperti kapal pecah? Maka pemandangan yang ia tangkap jauh lebih buruk.
Hasrat untuk menjerit sangat besar adanya, namun Renjun keburu sadar jika tidak baik frustrasi di pagi yang cemerlang. Mood-nya bisa jelek. Terutama mengingat akan ada yang lebih menguji kesabarannya daripada ini.
Maka selain mempersiapkan diri, baiknya dia perbanyak istighfar. Renjun mengambil napas panjang, ada ringis pelan yang menghiasi ekspresinya sejak tadi. Sebelumnya tak begitu digubris, hingga ngilu di pergelangan kaki mencapai batas toleransi.
Bisa dibilang, Renjun sudah akrab dengan hal ini. Menerima kejutan saat bangun tidur adalah sesuatu yang lebih wajib ketimbang sarapan. Pun jantungnya tak pernah salto lagi saat mendapati kamar yang awut-awutan. Termasuk saat bertemu wajah mengerikan yang terpantul di cermin, menatapnya balik tanpa minat. Juga kantung mata hitam menggelayut dihiasi segaris darah kering. Bayangan tersebut menatap datar, lalu bergerak seiring Renjun yang memutar badan. Malas pandangannya berkeliling, mencari ponsel yang menjerit.
Ini yang Renjun maksud dengan penguji kesabaran.
"Hmm," ia berikan pada sapaan ceria secerah mentari siang hari milik sang penelpon yang berupa,
"Halo! Selamat pagi babu! Hehehe, bercanda! Oke ulang. Ekhem. Selamat pagi sahabat tercinta sejiwa seperpopokan gue yang cantik tapi masih cantikan gue." Ini Ryu.
Jangan salah paham. Bukan tidak tertarik pada si lawan bicara atau apapun yang akan dia katakan, aslinya perangai Renjun memang begini. Dia bukan orang yang penuh cahaya ceria macam Ryu.
"Gimana pagi ini? Baik?"
Retoris. Renjun bahkan tak ingat kapan dia mendapatkan pagi yang tentram dan Ryu pasti tahu betul mengenai hal ini.
"Kayak biasa." Seperti biasa pula, Renjun menjawab ogah-ogahan.
Suara Ryu meninggi, antusiasmenya menyambar keras. "Biasa yang mana?! Biasa yang normal atau yang abnormal?!"
Nada penasaran itu menggiring bola mata Renjun agar berotasi jengah. "Opsi kedua."
Mudah bagi Renjun membayangkan Ryu yang terkesiap dengan mulut dan mata sama-sama terbuka lebar. Tunggu saja, tak lama lagi dia bakal histeris.
Satu.
Dua.
Ti-
"INI PASTI ULAH DEDEMIT JUJUN!"
Antisipasi Renjun percuma. Ponselnya tetap terdorong menjauh dari telinga- kambali berakhir pengang. Suara melengking Ryu benar-benar berpotensi membuat Renjun tuli.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEVENTEEN DAYS | JAEMREN
FantasyRenjun tidak tahu kenapa takdir membawanya terlalu jauh dari apa yang semula ia harapkan. Kenapa harus terlibat dengan dimensi lain, dengan arwah dan dengan alam kematian. Renjun hanya berniat membantu, tanpa mengerti kalau kenyataan yang ada jauh l...