10. Melawan takdir [Revisi]

37 9 3
                                        


Angin siang bertiup lembut, membawa serta beberapa helai daun yang jatuh berguguran di taman kecil sekolah. 

Niko dan Kouko duduk berdampingan di bangku kayu, menikmati suasana sambil membahas isu yang tengah panas.

"Gila sih... baru aja 271T, sekarang satu kuadriliun?" Niko menggeleng tak percaya. "Udah gila ya? Pejabat zaman sekarang."

Kouko, yang masih asyik mendengarkan, merespons santai, "Mau gimana pun, korupsi itu kerjaan profesional."

"Sepakat!"

Sejenak, mereka terdiam. Hanya angin siang yang berbicara, menyapu wajah mereka dengan sejuknya.

Tatapan Niko kemudian beralih ke sudut sekolah, tepat ke arah perpustakaan tua yang berdiri kokoh di sana. Tempat itu... sudah menyimpan banyak cerita baginya. Dari anak baru yang canggung, sampai kini, seorang senior yang mulai paham apa arti tanggung jawab yang besar.

Namun, lamunan itu tak bertahan lama.

"Hoi!"

Suara nyaring membuatnya tersentak. Ia menoleh dan menemukan sosok yang sering muncul di saat yang tidak diharapkan.

Bu Rita.

Wanita lajang itu menyeringai jahil. "Ngapel, ya?"

Niko langsung mendelik. "Ck! Apa sih!"

Bukannya berhenti, Bu Rita malah semakin semangat. "Halah... kalau iya, ibu dukung deh." Lalu, ia menatap Kouko yang masih tenang seperti biasa. "Nak, kamu mau jadi pacarnya Niko?"

Mati aku!

Niko buru-buru berdiri, merasa ini terlalu berlebihan. "Udah, ah! Mau pergi!"

Tanpa menunggu lebih lama, ia melangkah pergi dengan wajah panas, sementara Bu Rita terkekeh puas. Kouko? Dia hanya menatap kepergiannya dengan ekspresi datarnya yang khas.

***

Pukul 14:00.

Jovian berlari tergesa-gesa menuju perpustakaan. Nafasnya tersengal, seolah dikejar sesuatu yang tak terlihat. Di sudut ruangan, Niko tengah sibuk melayani beberapa pengunjung ketika suara lantang itu memanggilnya.

"Niko!"

Niko menoleh cepat, alisnya berkerut. "Apaan sih?! Jangan teriak-teriak ngapa!"

"Gak bisa! Urgent banget!" Jovian tak memberi kesempatan, langsung menarik lengan Niko dan menyeretnya ke meja kosong di pojok.

Tanpa berkata-kata, ia membuka buku di tangannya—menunjukkan sederet kata yang mencengangkan.

27 Juni, Bunuh diri.

Bulu kuduk Niko langsung meremang. Tatapannya kosong, tubuhnya terasa dingin, dan kulitnya perlahan memucat.

"Bu-Bunuh diri?" suaranya hampir tak terdengar.

Jovian menelan ludah, matanya tak lepas dari ekspresi ketakutan Niko.

"Kejadiannya besok."

Hening.

Niko masih terdiam, seolah otaknya menolak memproses informasi itu. Ramalan ini mulai bermain-main dengan kematian.

Tak lama kemudian, Olivia muncul dengan wajah yang sama pucatnya. Napasnya memburu.

"Niko! Gimana ini?!" suaranya bergetar, mencerminkan kecemasan yang sama.

Niko menatapnya. Jelas sekali—ia tidak punya jawaban.

"Oke... kita tenang dulu." Niko menghela napas panjang, mencoba mengembalikan fokusnya.

Mereka bertiga menarik napas dalam-dalam. Sekali. Dua kali.

Forbidden Book [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang