Pembuka

515 65 54
                                    

Jakarta, 2013.

Tujuh orang remaja sedang duduk di tepi sungai. Hamparan tanah merah dan padang rumput ini terasa syahdu. Semilir angin sore memanjakan siapa pun yang singgah di sini. Angin-angin itu begitu lembut, terlihat dari cara mereka membelai rerumputan dan permukaan air sungai.

"Sebelum pada ngelanjutin sekolah mencar-mencar, kita jalan-jalan dulu lah naek gunung," ucap Andis, pemuda bertopi beanie coklat yang sangat antusias membahas tentang agenda jalan-jalan tahunan mereka.

"Gunung kembar?" celetuk pemuda berjaket jeans biru lengkap dengan seragam putih abu-abu yang baru saja menyalakan rokok, lalu menghisapnya. Kepulan asap perlahan keluar dan membaur dengan angin sore.

Mantra namanya, sebuah kelompok kecil yang berisi tujuh orang pemuda indigo. Mereka sedang berkumpul dengan anggota lengkap di pinggir sungai, dekat dengan lokasi Bon Voyage yang saat ini sudah tidak ada.

Mobil bus kuning terbengkalai yang menjadi basecamp mereka sedari kecil itu sudah hampir satu tahun dihancurkan demi proyek pembangunan. Menyisakan lapangan tanah merah dan padang rumput yang luas sejauh mata memandang.

"Gunung beneran lah, Dir. Pe'a juga lu," jawab Andis.

"Tumben. Gua pikir lagi becanda jorok," balas Dirga diiringi kekehan tipis.

"Setuju sama Dirga," celetuk pemuda yang sedang membaca buku. Wajahnya sama persis seperti Dirga. Hanya saja ia mengenakan jaket bomber berwarna cokelat dan rambutnya terlihat agak rapi ketimbang Dirga.

"Yeh, kembar biadab!" sahut Andis.

"Boleh lah, naik gunung kayaknya seru," sambung pria dengan rambut agak ikal yang sedang berbaring di rumput dililit selimut berwarna biru muda. Kei namanya. "Seru, kan?"

Kei menatap pemuda tampan yang sedang duduk menatapnya balik tanpa ekspresi. Sarung tangan hitam terpasang menutupi kedua tangannya. Pemuda itu menjawab pertanyaan Kei hanya dengan gelengan kepala. Ia tidak terlalu suka agenda outdoor yang merepotkan seperti naik gunung.

Hal tersebut membuat Kei terlihat murung. "Ayolah, Tam."

Lagi-lagi Tama menggeleng sebagai jawaban. Pemuda yang satu ini memang pelit suara.

"Emang lu enggak kuliah?" timpal Tirta, kembaran Dirga yang sedari tadi asik membaca buku.

Kei lebih tua dua tahun di atas mereka semua, ia sudah berada di jenjang kuliah. Enam orang lainnya masih baru dinyatakan lulus SMA dan sebentar lagi akan segera menyusul Kei.

"Anggap-anggap acara perpisahan ya," celetuk pemuda bermodel rambut undercut, dengan potongan samping tipis dihiasi ukiran garis.

Andis menatap pemuda bernama Fajar atau yang sering dipanggil Ajay tersebut. "Yoi, Jay."

"Yang lain gimana?" tanya Tirta. Ia menutup bukunya dan fokus pada pembahasan ini agar tidak sekadar menjadi wacana belaka.

Dirga meletakkan rokoknya di asbak yang ia bawa sendiri. Ia pun kini serius. "Boleh. Yang lain gimana? Izin orang tua mau ke mana? Yakin boleh naik gunung? Gua sama Tirta sih santai, enggak punya orang tua, enggak butuh izin, enggak ada yang khawatir. Kalian beda."

Kei juga serius, kini pemuda itu beranjak dari tidurnya dan duduk sambil mengenakan selimutnya hingga terlihat seperti Superman. Tatapannya kini beralih pada seorang pemuda berseragam keluar.

"Gimana menurut lu, Tom?" tanya Kei.

Pemuda yang dipanggil Tomo itu pun membuka mata kanannya, sementara mata kirinya tertutup penutup mata berwarna putih. Ia sedari tadi hanya diam bagaikan seorang pengamat. Kini semua mata menatap ke arahnya.

Mantra : Ekspedisi LawuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang