Hitam.
Tatapan kosong, jiwanya mengelana.
Bagian tak terduga di kehidupannya menjadi bagian terduka.
Pundaknya berderap, menyentuh tanah.
Hitam.
Bebannya kelewatan, hingga apa yang di bawah bahu seluruhnya tak berarti.
Kecuali satu, di dalam bersinar, hati yang mendamba damai.
Namun, berengseknya sang kepala justru ramai.
Apa digantung saja? Atau memeluk udara hingga membumi?
Jangan.
Apapun yang terjadi, tolong hidup lebih lama.
Bukan demi apa-apa, hanya tolong hidup lebih lama saja.🦋 Cerita ini dipersembahkan untuk jiwa-jiwa kehilangan arah, mari rangkai kompas itu bersama-sama 🦋
***
Berita kematian Juna menggema satu kota. Bagaimana tidak, setelah ditelusuri, Juna menjatuhkan dirinya dari lantai 3, di depan para murid yang sebagian besar tidak tahu akan terjadi hal demikian.
Motifnya tidak diketahui.
Juna tidak meninggalkan surat, atau memberi pertanda apapun. Namun, kamar asramanya rapi, seperti dipersiapkan untuk ditinggalkan. Lelaki itu tinggal di asrama yang tak jauh dari sekolah, karena ia murid dari luar kota. Menurut kesaksian penjaga asrama, biasa kamar Juna berantakan, berbau asap rokok, dan sesekali tertangkap menyelundupkan botol minuman keras, yang mana hal itu dilarang.
Saat awal menginjak kelas 10, Juna merupakan seorang yang sangat ceria, pelawak di antara teman-temannya. Menginjak kelas 11, ia bergabung bersama circle Gines. Kelas 12 saat ini, dia semakin nakal dengan teman-temannya.
Kasus ditutup.
Buket bunga bertebaran di tempat jatuhnya Juna. Keluarga katanya sudah mengikhlaskan, tak satu orang pun keluarganya terlihat mengunjungi kota, hanya berbicara melalui pesan.
Dari belakang, Akira dapat melihat Gines meremas-remas roknya, pertanda cemas. Perempuan itu berkali-kali menggoyangkan kaki dan akhirnya bangkit dari kursi yang ia duduki. Tanpa meminta izin, ia berlari keluar kelas.
Hal tersebut menyedot atensi teman-teman kelas, juga guru yang tengah mengajar, berhenti seketika dan menggelengkan kepala pelan. Sisanya hanya memaklumi, namanya juga Gines.
Tak disangka, sebuah teriakan kemudian terdengar. Seorang perempuan yang menangis. Beberapa siswa berkumpul dan berbisik-bisik, melihat ke arah lapangan. Pak Fore, guru Bahasa Inggris yang tengah mengajar di kelas ikut penasaran. Ia keluar, diikuti murid-muridnya dari belakang.
Akira menepi, di sisi lain yang tak banyak murid menonton kejadian; Gines kini menangis, mengacak-acak bunga penghormatan terakhir untuk Juna. Tangisannya keras, tidak peduli puluhan pasangan mata memperhatikan tingkahnya.
Dari ujung lapangan, Latih menghampirinya, menarik tangan Gines untuk menghentikan perempuan tersebut melakukan hal demikian. Guru BK pun turun tangan. Tangisan yang keluar dari mulut Gines menggambarkan sakit hati, kekecewaan yang luar biasa.
Siswa siswi yang menonton dibubarkan, beriringan dengan bel pulang yang berbunyi. Akira merasa, ada hal aneh antara Gines dan Juna. Atau mungkin, hal aneh memang biasa terjadi pada hubungan pertemanan mereka.
Baru memasukan beberapa buku ke dalam tas, sebuah tangan yang mengepal mengetuk meja Akira. Tanpa mendongak, Akira tahu siapa yang menghampirinya. Salah satu pelaku pelecehan yang terjadi beberapa hari lalu terhadapnya, yang menginisiasi untuk membuka baju Akira, menyentuh bagian-bagian pribadi Akira, yang mencium bibirnya.
Aksa.
Tangan Akira gemetar, namun ia menyembunyikannya. Ia menyampirkan tas lantas bangkit tanpa memperdulikan Aksa yang seolah menunggu dirinya, terlihat ingin mengatakan sesuatu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Monochrome
General FictionDunia tak berwarna, pelangi itu tak ada. 17+ Terdapat adegan kekerasan, kasar.