"Apaan nih?"
Tawan mengabil kotak beludru dari tangan Off dalam sekali sergap lalu dia pun duduk di depan Off. Arm dan Alice pun mengikuti duduk di kursi lainnya. Off mendengus kesal saat Tawan menjauhkan tangannya segera setelah Off ingin mengambil kembali kotak beludru itu.
"Wih cincin. Mau ngelamar Davi nih?"
"Rese cepet balikin."
"Beneran mau ngelamar Davi, Off?"
Kini Alice yang bertanya setelah Tawan membuka kotak dan menampilkan cincin emas putih bertahtakan berlian. Off mengangguk sedangkan teman-temannya hanya mengaga tidak percaya.
"Tapi Davi belum jawab sih. Katanya setelah gue balik dari Eropa."
"Gak mau nikah kali dia."
Arm langsung menyundul kepala Tawan. Kesal mendengar jawaban blak-blakan yang dilontarkan sahabatnya ini. Padahal Arm tahu Off sedang kalut dengan masalah lamarannya.
"Mungkin lo bisa ajak ngobrol dulu. Lo sama Davi kan gak pernah membahas masalah pernikahan, bisa jadi dia sedikit syok. Dia butuh waktu buat mikirin hal ini."
"Tapi dia kok kayak gak excited waktu gue ngeluarin cincin. Ngerti gak sih maksud gue? Gak ada aura-aura terkejut gitu. Malah kesannya dia ngehindarin ini. Apa gue kecepetan ya?"
"Kalo dari segi waktu, kalian udah cukup buat menuju ke jenjang yang serius. Cuma ya gitu, kan lo sama dia gak pernah bicarain hal ini. Bener kata Arm, cuma butuh waktu aja."
Off tidak berhenti gelisah memikirkan acara lamarannya tempo hari. Ekspresi dan gestur tubuh sang kekasih mementahkan kembali niatnya untuk melamar. Ucapan Arm dan Alice memang sedikit menenangkan meskipun tetap ada sisa yang mengganjal.
"Lo pastiin deh ke Davi. Ini lamaran bro gak main-main. Lo juga harus mantepin diri apa ini keputusan yang tepat? Seumur hidup terlalu lama."
Off setuju dengan saran Tay kali ini. Keputusan pernikahan itu bukan hal yang mudah. Tidak perlu mencari contoh yang lain, sahabat mereka sendiri yang sudah pacaran sejak SMA saja yaitu Alice dan Arm tetap sulit menentukan kapan yang pas untuk membawa hubungan mereka ke jenjang pernikahan. Padahal Off tahu kalau Arm dan Alice memiliki hubungan yang matang menurutnya. Perihal memahami satu sama lain, pasangan ini jagonya. Jadi jika hari ini Arm memutuskan melamar Alice pun Off yakin jawabannya akan iya. Tapi nyatanya sampai detik ini Alice selalu saja menjawab untuk santai dulu. Arm pun setuju dengan jawaban sang kekasih. Entah apa yang membuat mereka menunggu lain waktu.
"Kalau jawaban Davika gak mau gimana? Sebenernya itu yang perlu lo siapin. Bukan maksud gue doain Davika gak nerima lamaran lo, cuma lo juga perlu nyiapin mental ketika jawaban dia gak sesuai harapan. Kenapa hal itu nanti jadi hal menyakitkan? Karena lo terlanjur menaruh harapan yang besar sama dia. Padahal nyatanya, harapan lo itu cuma sebatas imajinasi diri lo sendiri. Lo gak tau isi pikiran Davika kayak gimana saat itu. Jadi lebih baik lo nyiapin solusi apa yang sebaiknya lo ambil ketika harapan lo gak terwujud. Kalau terwujud sudah pasti syukur. Tapi kalo enggak? Kira-kira apa langkah yang lo ambil?"
"Widih widih, ngeri coy. Tawan habis menerapkan sila keempat Pancasila, kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Sungguh bijaksana. Kenapa lo gak ikutan bung karno bikin teks proklamasi ya."
"Rese lo. Gue nyeplos salah, gue bijak juga salah."
Tay mengerucutkan bibir memasang wajah masam sedangkan yang lain tertawa. Hubungan persahabatan mereka memang sudah terjalin sejak SMA. Antara mereka pun tak luput dari bumbu percintaan, yaitu antara Arm dan Alice. Masa pacaran keduanya tidak perlu diragukan lagi. Sangat kokoh tak tertandingi. Sempat putus tapi kembali terjalin lagi.
"Jadi kalau emang gak diterima mau gimana?"
"Gak tau."
***
"Jangan takut. Apapun yang terjadi, aku tetep sama kamu."
Tangan Bright meremas erat tangan Davika yang mengepal. Hari ini adalah hari dimana Bright akan mengutarakan kebenaran pada ibunya perihal dia dan Davika. Tentu semua ini mereka lakukan sesaat setelah Off lepas landas terbang meninggalkan Jakarta untuk perjalannya ke Eropa. Semua persiapan ini sudah Bright pikirkan matang-matang. Tidak ada lagi waktu yang pas selain sekarang. Kalau memang ibunya hari ini akan mengusirnya, Bright sudah siap. Dia akan melakukan apapun agar Davika tidak perlu mengambil opsi aborsi.
"Loh, Davika kapan dat..."
Ibu Bright terhenti berucap kala mendapati anak bungsunya menggenggam erat tangan kekasih putra sulungnya. Wajah Bright yang tertunduk dan menatap perlahan membawa pertanda di relung hati ibunya kalau beberapa saat lagi telinganya mungkin akan mendengar kabar buruk.
"Ada apa ini?"
Pertanyaan ibunya malah membawa Bright duduk bersimpuh di lantai. Belum sempat Bright membuka suara, ibunya telah terduduk lemas di kursi diikuti dengan suara tangis getir Davika yang mulai mengisi keheningan di antara mereka.
"Apa yang kalian lakuin?"
"Ma sebelumnya aku mau minta maaf. Tolong dengerin aku dulu. Aku mohon."
Davika ikut bersimpuh. Tangannya mengatup dan mulai mengucap maaf berulang kali di lutut ibu Bright.
"Tante, Davi minta maaf. Maafin Davi. Tolong dengerin kita dulu."
Ibu Bright hanya mengangguk pertanda ia akan mendengarkan penjelasan mereka. Tanpa menunggu lama, Bright mulai menjelaskan seluruh kronologi yang terjadi antara dirinya dan Davika. Kalimat demi kalimat melewati rongga telinga bersamaan dengan bulir air mata yang mulai mengurai di pipi. Kolase foto di ujung pandangan memburam. Ibu tak lagi bisa melihat senyuman Off yang terpatri gagah dalam bingkai pigura.
"Bright...."
"Ma, Bright siap dengan segala keputusan mama. Bright siap pergi kalau memang itu keputusan mama. Asal mama jangan suruh Davika buat aborsi. Itu anak Bright, ma."
Ibu cuma terdiam. Pikirannya melayang menuju putra sulungnya yang sedang mengudara. Ingatan ibu kembali ke waktu ketika Off mulai menceritakan rencana kehidupannya. Mulai dari rencana melamar Davika sampai rencananya beberapa tahun ke depan bersama kekasihnya itu. Apalagi sesaat sebelum Off berangkat, Off sempat menggoda mamanya dengan menyuruh sang mama untuk bersiap menyambut menantu sepulang Off dari Eropa.
Namun kenyataan saat ini tidak pernah terbayangankan oleh ibu. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Off puteranya, pun dengan Bright.
"Tetap di sini. Kita akan mencari jalan keluar bersama. Mama juga akan cari cara untuk menjelaskan hal ini dengan Off. Sekarang lebih baik kamu fokus sama kehamilanmu. Davi sudah cek ke dokter kandungan?"
Davika menggeleng.
"Nak, kamu jangan banyak pikiran. Sehat-sehat ya."
"Tan, maafin kami..."
"Iya."
Ibu beranjak menuju kamar. Pintu tertutup dan beliau pun terduduk. Hidupnya hari ini telah luluh lantak tak bersisa.
☁️ To Be Continue ☁️
✈️ Like dan Komen ✈️
KAMU SEDANG MEMBACA
Jakarta Hari Ini
FanficKisah tentang insan manusia yang sedang menjahit luka di atas awan membelah cakrawala. Berkelana, menemani bumi mengitari matahari, berharap cahaya senjanya kembali menyemai cinta yang telah lama mati. Negara demi negara kakinya berpijak, namun tak...