Part 1

134 7 5
                                    

Deru napas yang bersahutan kian memanaskan ruangan itu, bahkan pendingin ruangan seperti tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Desahan dan erangan layaknya musik yang mengalun indah dikala penyatuan tubuh dua anak manusia. Hujaman dan kata pujian yang bersahutan kian menambah gairah keduanya.

"Ila..." Desahanya parau. Matanya terpejam ketika gelombang kenikmatan itu datang. Tubuhnya menegang ketika semburan cairan itu keluar.

Mencoba mengatur napas yang masih terengah-engah. Berbaring di samping perempuan yang telah memberinya kenikmatan. Perempuan itu tersenyum. Sekilas Pria itu teringat seseorang yang sampai saat ini masih bersemayam dihatinya. Pria itu balas tersenyum.

"Aku mencintaimu."

*****

Pria itu bangun dari duduknya lalu berjalan menuju kaca yang berada tak jauh dari tempat yang di dudukinya tadi. Matanya lurus menatap aktivitas yang ada di luar; hiruk pikuk kendaran yang berlalu lalang di bawah sana sudah biasa terlihat. Teriknya matahari tak menjadi penghalang bagi mereka untuk melakukan kepentingan masing-masing.

Nyatanya waktu telah mengubah segalanya tapi tidak dengan hatinya. Tatapan matanya lurus memandang kedepan, pikiranya berkelana kemasa lalu. Masa dimana dia masih bisa melihat orang yang disayanginya tersenyum tulus dengan binar kebahagiaan, namun itu semua lenyap begitu saja karena ego, ambisi dan dendam yang telah menguap minta dituntaskan.

"Berjanjilah kau akan kembali untukku."

Apakah dia baik-baik saja? tidak setelah kau melukainya brengsek, dirinya menbatin.

Pria itu tersenyum masam, membalikan badan lalu melangkahkan kakinya menuju kursi yang tadi di dudukinya. Tepat berada di samping kursi itu ia melihat fotonya yang sedang bersama wanita memakai baju pengantin. Dalam foto itu keduanya terlihat sangat bahagia dan begitu serasi. Pria itu langsung mengalihkan pandanganya ketika di otaknya terlintas senyum wanita itu, wanita yang bukan ada difoto tersebut.

Pria itu mengambil benda pipih yang terdapat logo apel digigit dibelakangnya. Setelah menemukan nama yang dia cari, langsung saja dia menekan gambar telefon berwarna hijau. Tepat dering ketiga suara seseorang terdengar menyapa.

"Bagaimana?" Pria itu nampak mendengarkan apa yang dibicarakan oleh orang diseberang sana. Sesekali dahinya mengernyit. Ekspresinya datar, tak tersentuh.

"Baiklah" Hanya itu yang dia ucapkan segabagai kalimat penutup. Setelah sambungannya terputus, diletakanya benda itu di atas meja kerjanya.

Punggungnya bersandar kebelakang menyentuh bagian kursi, kepalanya mendongak ke atas, matanya lurus memandang langit-langit berwarna putih yang ada diruangan itu. Ditaruhnya telapak tangan sebelah kanannya di atas kening. Memejamkan mata sebentar, lalu dibukanya kembali dan dia langsung tersentak akan pikiran yang baru saja terlintas.

"Brengsek!!"

*****

Di sudut ruangan yang temaram perempuan itu terus menatap ke bingkai foto yang berada dalam genggaman tanganya dan tangan yang satunya mengelus orang yang ada di dalamnya. Tak terasa buliran air mengalir membentuk anak sungai dikedua sisi pipinya.

Semua terasa begitu menyakitkan. Hatinya begitu dalam dilukai oleh sesuatu yang bernama cinta. Dan orang yang mengaku mencintainyalah yang jadi penyebabnya.

Hatinya hancur menjadi kepingan dan melebur dalam butir kenangan yang begitu menyakitkan. Kesedihan yang ia pikul sudah tak ada artinya. Saat cinta merubah semua yang ada menjadi luka, pada akhirnya semua sudah tak berguna.

"Apa kau akan terus seperti ini?" Lara berkacak pinggang dan menghembuskan nafas lelah. Ia lelah melihat orang di depanya terus besedih hampir depresi.

"Lupakan Sha, lupakan! Kau berhak bahagia meski tanpanya!" Lara mengambil bingkai foto itu lantas menatapnya tajam.

"Nikmatilah rasa bahagiamu disetiap rasa sakit yang akan kau beri untuknya. Untuk itu kau harus bangun dan keluar Sha," orang yang dipanggilnya hanya diam. "Ingatlah bagaimana dia menorehkan luka itu dan meninggalkanmu dalam pesakitan!" lanjutnya. Orang yang diajaknya bicara tetap bergeming. Dia seperti memiliki dunianya sendiri tak peduli dengan sekelilingnya.

"Shakila Pastika" Shakila menoleh.

"Bagaimana.. Bagaimana caranya Ra?" Lara melihat ada kobaran dimata yang sudah lama redup itu. Lantas ia tersenyum.

"Kau akan tahu segera"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 05, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Hell In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang