Singa

869 74 11
                                    

Semester baru bagi dirinya yang sudah menjadi murid tingkat akhir di sekolah. Masa-masa kebebasan dan menyenangkan sebagai remaja akan mendekati titik selesai dan memulai kehidupan di level yang baru. Kenangan yang akan dirindukan ketika dewasa nanti, cerita yang akan dibagikan kepada mereka yang menyaksikan kisah ini.

Dua tahun menjalani sebagai murid SMA menjadi ingatan yang tak terlupakan. Menjadikan warna baginya dan coretan rupa yang bervariasi. Dengan segala rasa yang tak ingin cepat usai, tahun terakhir baginya akan menjadi lembaran baru yang tidak pernah terjadi dalam hidupnya.

Menjalani paginya sebagai pemeluk Hindu Bali, menyiapkan dupa dan canang untuk mesodan yang biasa dilakukan pada pagi hari. Melafalkan mantra persembahan untuk Dewa yang mereka yakini, tertutur hikmat ucapan dari mulutnya dengan penuh nurani.

Wayan Baga Kabinawa adalah anak laki-laki pertama dari seorang Ayah yang asli Bali dan Ibu sepenuhnya Jakarta. Mereka menetap di Ibukota dari sebelum Baga lahir, Ayahnya sudah hijrah kesini karena pekerjaan. Hingga tahun lalu beliau meninggal menyisakan dirinya, Ibunya, serta adik laki-laki yang masih SMP.

"Udah, Kak? Ayo cepet, telat kamu nanti. Adek udah jalan daritadi itu."

"Madhar udah jalan duluan? Gimana sih, katanya mau berangkat bareng."

"Kamu kelamaan bangunnya, jadi aja dia duluan naik angkot."

Menyelesaikan ritualnya, Baga segera berangkat menuju sekolah. Menaiki motor besarnya, jaket kulit yang terpasang di tubuhnya menambah kesan maskulin, pemberani dan kuat seperti arti dalam namanya.

Ibu memang memeluk agama yang berbeda dengan Baga, sebagai seorang Kristiani dia tidak ingin meninggalkan Tuhannya, tapi karena cintanya yang begitu besar kepada suaminya, dia rela menikah dengan cara yang tidak sempurna. Memiliki keyakinan masing-masing, hubungan keduanya cukup kuat hingga maut yang memisahkan.

Semenjak ditinggalkan, Mira membuka usaha makanan online. Jajanan kue pasar yang mana dia ahli dalam hal itu, semenjak kecil sudah diajarkan oleh orang tuanya yang mana resep ini menjadi sebuah warisan keluarga yang bermutu.

Terkadang Baga juga memberikan bantuan sebagai pemasukan tambahan. Mulai dari barista, staff di toko retail, sampai asisten pelatih voli dimana olahraga tersebut adalah bidang yang dia gemari. Sekarang dirinya full time sebagai murid sekolah saja, karena kata Ibunya dia harus fokus di kelas tiga. Lagipula penghasilan Mira sudah sangat cukup untuk membiayai hidup.

"Ga, ada perpisahan club voli dulu sebelum masuk." Erlan salah satu teman ekstrakuliuler Baga menghampiri ketika dirinya baru sampai.

"Emang mesti ikut?"

"Dateng aja, sekedar formalitas dulu nongolin muka biar gak dikira sombong."

Di dalam ruangan club voli sudah berkumpul ketua dan adik kelas mereka yang akan melanjutkan estafet juara tingkat provinsi bagi sekolah. Memang olahraga ini menjadi salah satu unggulan, sudah tiga kali berturut-turut tahtanya tidak bergeser.

"Nah, MVP kita nih." Sang ketua merangkul Baga yang baru saja datang. "Sambutan dulu, Ga."

"Ngomong apaan gue?" Bisiknya.

"Apa aja yang penting heboh."

Baga terdiam sejenak memperhatikan wajah-wajah adik kelasnya yang mungkin sedikit takut dengan perawakannya. Walaupun tidak terbilang tampan seperti artis Korea, tapi struktur rahang dan kulit kecoklatan ciri khas pria Bali, serta mimiknya yang datar tidak ada ekspresi, masih begitu manis dilihat. Ditambah badannya yang atletis dan cukup besar untuk ukuran anak sekolah, membuat murid lelaki di sekolah ini segan kepadanya.

"Gue pukulin lo semua satu-satu kalo sampe kalah di turnamen tahun ini."

Hening.

Arvi yang menjadi ketua club voli pun hanya bisa menundukkan kepala sembari memijat keningnya. Heboh yang dimaksud bukan untuk membuat beban bagi mereka, setidaknya ada perkataan yang seharusnya membangkitkan semangat.

"Dah, dah gak usah di denger. Besok gue umumin ketua selanjutnya."

Mereka pun membubarkan diri, hanya tinggal tiga serangkai ini yang tersisa. Memang Baga tidak bisa diandalkan untuk memberi petuah, yang ada hanya gertakan menakutkan jiwa raga.

"Gimana mau ada yang naksir sama lo kalo nyeremin gitu. Cowok aja pada merinding apalagi cewek, berasa berhadapan sama preman." Ujar Erlan menghela napasnya.

"Preman aja sampe kencing ngadepin nih orang." Senggol Arvi ke bahu Baga.

"Minggu lalu kan itu? Lo apain sih, Ga?" Tanya Erlan penasaran, karena cerita ini juga sudah menyebar ke seantero sekolah.

"Gue timpuk bata aja sampe bocor kepalanya udah pada takut, preman apaan kaya gitu."

Pembelajaran berlangsung seperti biasa hingga jam istirahat pertama tiba. Mereka bertiga langsung menuju kantin karena satu kesamaan yang beriringan adalah tidak bisa menahan lapar, serta porsinya yang tidak terkira.

Baga mengantri nasi goreng kesukaannya. Di depannya tepat seorang lelaki yang terlihat panik karena tidak menemukan uang di kantung celananya. Padahal hanya tinggal membayar karena dia sudah memesan, tapi baru sadar kalau ternyata dia tidak memegang uang sama sekali.

"Bu, satu lagi nasi goreng. Nih, sekalian sama dia." Baga membayarnya.

Pria itu menoleh ke belakang, matanya menatap lurus pada leher Baga karena memang tingginya yang hanya sebatas itu. Lalu dia mendongak menatap Baga dengan mata mengerjap karena kelilipan rambutnya sendiri.

Tangannya bergerak menyingkirkan poninya. "Makasih udah bayarin."

Baga mengernyit. "Bayarin? Lo ganti duit gue, mana ada yang gratis jaman sekarang."

Mulutnya menganga dan terpaku sejenak. Kenapa juga dia berpikir kalo akan dibayari oleh Baga?

"Oh-" menggaruk pipinya yang tidak gatal karena salah tingkah. "Besok saya ganti ya, Kak"

Dia tau kalo Baga kakak kelasnya, karena siapa yang tidak kenal? Sekali lagi, bukan karena banyak yang terpikat, tapi karena menyeramkan.

Banyak dari mereka yang lebih memilih bertemu setan tengah malam daripada harus menghadapi Baga.

"Emang harus ganti." Lalu Baga melihat nametag di dada pria ini. "Ezio, besok gue tagih."

Jujur saja, selama menghadap Baga entah kenapa napas Ezio tercekat. Tidak beraturan seperti sesak, matanya yang teduh itu justru terkesan menerkam jika kita tidak menuruti perintahnya. Ibarat singa yang menatap tajam pada penghuni hutan, menekankan bahwa ini adalah teritorialnya.

Berlalu begitu saja setelah mengambil pesanannya, Baga berjalan menuju mejanya. Santai seperti tidak terjadi apa-apa, seperti tidak peka bahwa dirinya sudah membuat satu adik kelasnya ketakutkan hanya dengan berbicaranya dengannya.

"Tuh bocah masih ngeliatan lo." Arvi mengedikan dagu untuk memberi tau Baga.

Baga menoleh, dan Ezio berlari pergi untuk pipis karena saking takutnya.

KaharsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang