03

5 0 1
                                    

Bryan terbangun lebih dulu, saat mendengar suara keributan dari teriakan dan gedoran kencang pada pintu kosnya.

"Siapa sih?" Bryan heran, tak biasanya ada yang berkunjung. Padahal, tak pernah sekalipun berniat kenal dengan para tetangga.

Melirik sejenak Ray, masih terlelap pulas dalam selimut, bila terbuka pasti akan memperlihatkan tubuh polos penuh tanda yang dibuat olehnya.

Bryan girang sendiri, karena kali ini tidak akan membiarkan Ray dibawa pergi lagi darinya.

Pintu masih menjadi korban gedoran dan suara ribut semakin menjadi, Bryan sengaja mengunci kamar, takutnya orang asing atau apapun, bisa kesambet ketika tahu seksualitasnya agak lain.

"Bisa di—"

Bryan meringis, karena perutnya terkena pukulan keras dari empat bocah entah dari mana datangnya.

Ah tunggu! Empat bocah?

Bryan loading, buktinya masih terduduk dan mengamati empat bocah ribut mencari seseorang.

"Oy! Diam dulu bisa nggak sih?" Bryan paling gedeg dengan kebisingan. "Bertamu kok berisik!" Benar saja emosi.

Empat bocah tadi diam, mulai mendekati Bryan. Sepertinya langsung menciut, padahal tadi bisa melayangkan pukulan pada Bryan.

"Kalian siapa?" Bryan memang sudah menebak, takutnya salah jadi ya sengaja bertanya lagi untuk memastikan.

Empat bocah dan itu laki-laki semua, masih bungkam.

Bryan menghela napas sejenak, baru sadar malah menakuti. Lagi pun, dirinya memang sulit bersikap lembut, hanya tertentu saja.

"Mana mama?"

"Hah?" Bryan terkejut, dengan ucapan mereka. "Mama?"

"Iya! Katanya mama ke sini! Mana!"

Bryan tahu, kalau yang dijalaninya kali ini adalah salah. Mulai dari hubungan sesama jenis, tak disangka Ray itu berbeda. Buktinya, bisa memberi anak dan yang paling mengejutkan, pertama kali mendengar laki-laki disebut mama.

Empat bocah tadi kesal karena diabaikan, buktinya menangis dan ribut. Ditambah, tak menemukan mama mereka—tidak lain Ray.

Bryan mengabaikan, tadinya kesal dengan keributan, kini malah suka. Atau efek anaknya sendiri?

Sementara itu, Ray akhirnya terbangun, karena suara ribut begitu jelas.

"Dasar gila!" Ray berdesis, bokongnya nyeri. Tetapi, tak menampik kalau rindu sentuhan lembut dan sedikit kasar dari Bryan, yang menyebalkan itu sisi mesumnya melewati batas.

Seketika terusik, karena mengenali suara bising. Ah ya, sebelum kembali ke sini Ray akan sibuk dengan empat bocah petakilan, selalu saja rebutan dirinya, baru ditinggal sebentar langsung mencari.

Dengan langkah lambat dan sedikit mengangkang, Ray pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri, dan mengenakan pakaiannya lagi.

"Sial! Aku kan nggak bawa baju!" Ray melirik ke lemari Bryan, mengambil milik Bryan, lagi pula satu ukuran. "Kenapa dikunci?"

Ray sudah menduga, Bryan semakin posesif, mengira dirinya akan dibawa kabur lagi.

Di sisi lain, Bryan malah asik mengamati empat bocah yang menangis dan ribut. Lambat laun, kasihan juga.

"Ey udah berenti nangisnya dong, sini katanya mau mama kan?"

Empat bocah tadi sudah diam, tetapi masih sesegukan.

"Ma—"

"Oy! Ngapa dikunci segala sih? Bukain buru!" teriak Ray, dari kamar.

Empat bocah tadi mengenali suara tadi, langsung berlari duluan, tetapi kesal karena tidak menemukan kuncinya.

"Hei diem, jangan nangis lagi." Bryan mulai pusing.

"Mama kenapa dikunciin!"

"Sengaja, karena mama kalian milikku! Kalian nggak boleh!"

"Aaaaaaaaaa!"

"Bryan! Buka pintunya! Jangan makin bikin ribut deh!" Ray emosi, ditambah pusing mendengar empat bocah benar-benar menyusulnya.

"Mama!" Benar saja langsung menghamburkan diri pada Ray.

Ray berdesis, karena jatuh ditambah bokongnya masih nyeri.

Bryan sendiri malah terkekeh.

Akhirnya, empat bocah tadi anteng. Nyatanya, masih suka mengempeng. Bryan hanya bisa mendengkus, mengamati empat bocah rebutan untuk mengemut puting Ray.

Ray santai, bukan berarti tidak lelah meladeni kelakuan empat bocah—anak sendiri.

"Kok kesel ya?" celetuk Bryan.

Ray berdecak, tahu maksud dari tabiat Bryan. "Diem!"

Bryan malah terkekeh.

Empat bocah tadi, sudah tenang setelah mendapat apa yang dicarinya.

"Dia ayah?" Satu dari mereka mulai mempertanyakan Bryan.

Ray mengangguk, masih malas begerak atau apapun, ditambah pegal dan bokongnya nyeri.

"Siapa namanya?" Bryan belum mencari tahu, gara-gara dipisahkan dari Ray membuatnya kesal.

"Ardan, Aryan, Anan, Abrian."

"Abrian?" Bryan mendengkus, ketika nama samaran isengnya, kepake pada nama salah satu anaknya. "Kembar empat, nggak kusangka eh?"

Ray berdecih.

"Kalian boleh berisik, tapi jangan ribut, dan jangan berkeliaran di luar." Bryan sengaja mengingatkan.

Ray sendiri, masih lelah dan malas untuk melakukan hal apapun, memilih tidur lagi. Meski berakhir diusik oleh empat bocah gendeng lagi.

Agak heran, kenapa anaknya ini petakilan semua, sedangkan dirinya dan Bryan lebih diam. Oh iya, soal alter ego, benar-benar lenyap.

Masa iya? Sifat bocah dan petakilan alter egonya, menurun sama rata pada mereka berempat?

"Diem oke?" Ray heran, karena satu anaknya lendotan lagi hanya untuk mengempeng.

Abrian mendusel dan memeluk erat Ray, bibirnya asik menghisap puting. Sesekali memainkan puting yang satunya lagi. Hingga terusik, dengan tanda merah banyak sekali di leher.

Ray lupa, kalau lehernya menjadi sasaran Bryan juga.

"Ma!"

Ray berdeham, enggan membuka mata.

"Ini merah kenapa?"

Ray mematung, refleks menutup lehernya dengan telapak tangan.

Sial!

See ya!

Suddenly (Drabble)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang