Huang Renjun

699 15 0
                                    

Kring... kring..

Suara dering alarm terdengar nyaring memenuhi ruangan yang berantakan itu. Meja penuh dengan plastik bekas makanan dan juga panci bekas ramen yang kuahnya mengering, membentuk kerak di dasar panci.
Layar tv di depan sana menyala tanpa ada yang menonton. Beberapa botol kosong tergeletak sembarangan di lantai. Lembaran-lembaran tisu dan kertas juga berserakan, membuat lantai terlihat penuh.

Dari atas sofa, seseorang masih tertidur pulas dengan selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. Tangannya terjulur keluar dari balik selimut. Berusaha menjangkau ponselnya yang dari tadi berdering.

Setelah berhasil meraih ponsel itu, ia mematikannya dan melemparkannya begitu saja ke atas lantai. Tangannya menyibak selimut yang menutupi wajahnya. Matanya mengerjap pelan.

"Apa sudah pagi?" gumam Jaemin. Ia bangkit duduk sambil mengusap matanya untuk menghilangkan rasa kantuk. Rambutnya berantakan dan mencuat kemana-mana.
Kakinya melangkah menuju jendela. Menatap pemandangan keluar.

Langit terlihat mendung dan berwarna keabuan. Tumpukan salju sisa tadi malam memenuhi jalanan. Beberapa petugas terlihat membersihkan salju itu agar transportasi berjalan lancar. Bulir-bulir salju menumpuk sebagian di pepohonan yang kehilangan daunnya. Digantikan salju yang menyelimuti setiap pucuk ranting dan dahan layaknya permen kapas.

Jaemin menghembuskan nafasnya. Membuat kaca di depannya mengembun. Hari ini, ia akan keluar mencari pekerjaan paruh waktu.

-----

Jalanan kota Seoul tetap ramai seperti biasanya. Matahari tak menampakkan dirinya sama sekali sejak pagi. Jaemin menatap jam di layar ponselnya.

14.20

Jika hari biasa, matahari pasti bersinar terik-teriknya. Ia menarik jaketnya lebih rapat. Melangkah cepat di trotoar bersama ratusan warga Seoul yang sibuk dengan urusannya masing-masing. Beberapa kendaraan dan bus tetap beroperasi seperti biasanya.

Jaemin menghentikan langkahnya di dekat halte bus. Tangannya bergerak merapatkan tudung jaketnya yang tebal. Asap tipis terlihat mengepul bersamaan saat ia menghembuskan nafas.

Tring...

Sebuah bus berhenti. Beberapa orang yang menunggu di halter bergegas masuk bergantian. 

Jaemin berjalan menuju kursi kosong di dekat jendela. Duduk termenung sambil menatap pohon-pohon maupun bangunan yang berseliweran dengan cepat. Ia lalu mengecek ponselnya lagi.

Ada beberapa pekerjaan yang ia list di daftarnya. Kebanyakan adalah pekerja paruh waktu di toserba atau cafe. Jaemin sudah tiga kali datang ke tempat yang berbeda. Dua diantaranya sudah menemukan pekerjaan paruh waktu lain. Sementara yang satunya tidak menerima anak sekolahan.

Huh? Lantas kenapa? Dipikirnya anak sekolah tidak butuh duit apa?

"Na Jaemin ssi?"

Jaemin mendongak. Seorang pria berwajah imut berdiri di dekatnya. Memperhatikan apakah itu beneran Jaemin atau bukan.

"Benar, kan? Kau Jaemin ssi?" tanya pria itu. Tudung jaket berbulu yang menutupi kepalanya terlepas. Jaemin memperhatikan pria itu sebentar. Berusaha mengenalinya.

Pria itu tak lebih tinggi dari Jaemin. Kulitnya putih cenderung pucat, dengan bibir tipis, dan kedua pipi yang merona merah. Pakaian yang dikenakannya terlihat mewah dan mahal, rancangan dari desainer terkenal.

"Nu-nuguya?" tanya Jaemin perlahan.

"Kau tidak ingat aku? Aku teman satu asrama mu saat SMP! Huang Renjun!" pria itu menepuk bahu Jaemin.

"Ah, Huang Renjun?" tanya Jaemin. Ia sedikit mengingat sekarang. Murid pindahan di kelasnya saat SMP dulu. Blasteran Korea dan China. Tapi secara keseluruhan, Renjun lebih terlihat seperti orang Tiongkok.

"Kau orang China itu?" tanya Jaemin. Renjun mengangguk cepat. Keduanya lalu berpelukan erat. Mengabaikan pandangan aneh dari beberapa penumpang lain.

"Senang sekali bertemu denganmu disini," ucap Renjun.

"Silakan duduk!"

Jaemin agak bergeser. Mempersilahkan Renjun untuk duduk di sampingnya.

"Ngomong-ngomong, apa yang kau lakukan sekarang? Kau sekolah dimana?" tanya Renjun. Jaemin menggaruk rambutnya yang tak gatal.

"Ah, itu ... belum tahu. Aku belum memutuskannya," jawabnya.

"Apa itu?"

"Sebenarnya, aku baru pindah sekolah di semester ini. Dan belum memutuskan mau masuk sekolah mana," jelas Jaemin. Renjun mengangguk paham.

"Bagaimana kalau di sekolah yang sama denganku?" tanya Renjun.

"Dimana itu?"

"Kwangya High school."

Mata Jaemin membulat. Kwangya High school?? Yang benar saja.
Itu adalah salah satu sekolah asrama elit yang ada di dekat pusat kota Seoul. Biayanya pasti mahal sekali.

"Santai saja. Ada peluang beasiswa disana. Aku akan memberitahumu nanti," ujar Renjun.

"Gomawo."

"Tidak perlu berterimakasih. Ngomong-ngomong, sudah lama kita tidak main keluar bareng," ujar Renjun. Jaemin mengangguk setuju.

"Bagaimana kalau malam ini kau main ke rumahku?" tawar Jaemin.

"Aku tak tahu rumahmu," keluh Renjun.

"Kirimkan nomer ponselmu. Aku akan mengirim alamatnya nanti," kata Jaemin.

Renjun dan Jaemin saling bertukar kontak. Keduanya lalu saling berbagi cerita. Mengobrol apapun yang terlintas di kepala. Bus itu masih melaju membelah jalanan kota Seoul yang dingin. 

Dari arah langit yang berwarna kelabu, butiran salju putih nan tipis turun perlahan jatuh ke bumi. Diikuti ratusan butirannya yang lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.





-----------

Vote ngab :)

Unholy || nomin 🔞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang