Delapan jam perjalanan dari Yogyakarta ke Bandung. Seringkali aku tersenyum sendiri dan melihat handphone dengan harapan kamu akan menghubungi. Masih teringat jelas dalam lamunan, adegan dirimu mengantarkanku ke gerbong kereta. Menunggu sampai kereta pergi. Kita saling melambaikan tangan. Sebenarnya saat itu kuingin dirimu menahanku lebih lama di Yogyakarta. Namun kutahu bahwa kamu pasti melakukan sebaliknya. Menyuruhku segera pulang agar tidak membuat kedua orangtuaku khawatir.
Sesungguhnya, ingin kuberhenti di sini saja mengenang dirimu. Membiarkan kisah kita yang saat itu tak berstatus menjadi kenangan manis. Kini yang kurasa, jika kulanjut mengenangmu setelah Kota Yogyakarta, kutakut kuhanya menyakiti diriku, karena ketika kita bersama, ternyata tak seindah itu.
Namun, Jaya, kuingin menguatkan hatiku melanjutkan mengenangmu, karena rasa bersalahku.
****
"Melodi, dari awal aku tuh ga suka kamu deket sama kakak-kakak angkatan atas. Trus tiba-tiba waktu itu kamu jadian sama Juna, pulang malem ga jelas, dan sering nongkrong juga sama mereka main ke mana. Nah sekarang, kamu udah putus sama Juna. Agak lega loh hati aku ini. Ehhh, taunya ada gosip katanya kamu sama Jaya sedang deket."
Panjang lebar celotehan Panca, sahabatku sejak SMA ini. Panca dan aku udah tau banget jelek-jeleknya kami. Dan kami bisa saling menertawakan kejelekan kami masing-masing. Hmmm, ada yang bilang kalau ga mungkin laki-laki dan perempuan sekedar sahabatan, well, salah, karena aku dan panca bisa sahabatan tanpa perasaan suka. Dia bisa mengatakan dengan gamblang kalau hari ini aku jelek, atau hari ini aku cantik. Tapi tidak ada rasa apapun, hanya kejujuran. Dia pun bisa menegur aku jika aku melakukan kesalahan, di mana orang lain akan diam saja.
Saat dia berceloteh panjang lebar mengenai aku dan Jaya ini pun, dia sedang melakukan pendekatan dengan teman seangkatan kami, Audya.
"Memangnya Jaya kenapa? apa ada yang salah sama dia?" tanyaku ke Panca.
"Mel, sejak deket sama Juna dan kelompoknya, kamu jadi agak urakan. Sekarang kamu sukanya sama Jaya, yang lebih atas lagi."
Aku diam saja, tidak merespon ucapan Panca. Karena aku tau pasti kalau aku respon, Panca pasti akan memberiku muka kesal, melihatku seperti anak nakal yang melanggar aturan. Panca pun sudah tau kalau aku tidak membalas ucapannya, artinya aku tidak mau diajak diskusi.
Akhirnya Panca menepuk bahuku dan berkata,"Pokoknya jaga sikap ya, Melodi. Kuliah yang rajin, jangan terlalu baper. Kamu sudah tau mana yang benar dan yang salah." Akupun hanya tersenyum. Terenyuh dengan perhatian Panca padaku.
Rupanya kedekatan aku dan Jaya mulai dirasakan oleh teman-teman kami. Sesuatu yang sebenarnya menyenangkan untukku, karena aku memang ingin orang-orang tahu kalau kamu memiliki perasaan padaku. Dan saat itu aku tidak mau ada perempuan lain yang lebih dekat denganmu daripada aku.
Namun, Jaya, baru kusadari sekarang. Saat itu sepertinya justru kamu tidak ingin teman-teman tahu kalau kita dekat, dan saling menyukai. Diriku yang belum dewasa saat itu belum memahami, kalau kamu tidak mau membuat keributan dengan teman-temanmu yang pasti melihat kita sebagai pasangan yang jahat ke Juna.
Dan memang itulah yang terjadi waktu itu, sesuai perkiraanmu.
*****
"Jay, mumpung kita lagi nyantai nih di sini. Boleh ga kita nanya sesuatu?" Jim membuka pembicaraan di dalam kelompok. Saat itu kelompok kita bermain ke Situ Patenggang. Saat makan siang sambil menikmati angin di Situ Patenggang, Jim rupanya tidak dapat menahan rasa penasarannya.
"Ga usah deh. Lagi males ditanya-tanya." Jawabmu sekenanya, dengan wajah datar.
"Dih, ni anak ya ga ilang-ilang nyebelinnya." timpal Jim. Teman-teman lain tersenyum simpul. Antara menahan rasa penasaran yang sama, dan seolah maklum dengan jawaban Jaya, karena mereka semua sudah mengenalnya dengan baik.
Aku yakin kamu tau apa yang akan ditanyakan oleh Jim. tidak hanya kamu, semua teman kita dan aku yang juga hadir di situ, tau apa yang akan Jim tanyakan.
Juna pun ada di sana. Mungkin itu yang menahanmu untuk menjawab apa yang akan Jim tanyakan.
Keluarga di E-07 ingin memastikan status kamu dan aku ya. Yang sebenarnya saat itu pun aku belum mendapatkan kejelasan darimu. Walau aku sudah tau apa yang kamu rasakan kepadaku.
Namun tak lama setelah itu, akhirnya kita mulai mau membuka pembicaraan ini. Di tangga jurusanmu.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Suratku untuk Dia
RomanceSebuah surat berisi ungkapan rasa yang tertinggal. Untuk dia masa lalu yang tak bisa kugapai lagi, dan tak tahu ada di mana, namun masih membayangi hariku.